Mahram
merupakan masalah yang penting dalam Islam karena ia memiliki beberapa pengaruh
dalam tingkah laku, hukum-hukum halal atau haram. Selain itu juga, Mahram
merupakan kebijaksanaan Allah تعالى dan kesempurnaan agama-Nya yang mengatur segala kehidupan. Untuk itu,
seharusnya kita mengetahui siapa-siapa saja yang termasuk mahram dan hal-hal
yang terkait dengan mahram.
Banyak
sekali hukum tentang pergaulan wanita muslimah yang berkaitan erat dengan masalah mahram, Nah
jika kita teliti bersama fenomena hari ini sangat memilukan, disebabkan
ketidaktahuan para wanita muslimah secara pasti, siapa saja yang menjadi
mahromnya, sehingga berimplikasi (berdampak) pada hukum-hukum islam seperti
hukum safar, khalwat (berdua-duaan), pernikahan, perwalian dan lain-lain.
Ironisnya, masih banyak dari kalangan kaum
muslimin yang belum memahaminya. Sehingga
mereka menganggap permasalahan ini adalah permasalahan yang biasa, padahal jika
hal ini dibiarkan begitu saja akan menambah terjadinya kemaksiatan yang terkadang
berujung pada perzinahan. Dan dari tema inilah, kami berusaha mencoba mengangkat
dan membahas permasalahan tersebut agar menjadi bashirah (pelita) bagi umat.
A. Definisi Mahram
1. Secara Bahasa
Dalam kamus Al-Munawwir[1]
kata مَحْرَمٌ berasal dari kata حَرَمَ
– يَحْرُمُ –
حَرَمًا وَمَحْرَامًا yang
berarti mencegah. Sedangkan مَحْرَمٌ sendiri berarti yang haram atau terlarang.
2. Secara Istilah
Menurut
:
a.
Abdul Barr rahimahullah adalah laki-laki yang haram bagi wanita karena
sebab nasab seperti bapak dan saudara laki-lakinya atau sebab pernikahan seperti
suami, bapak suami (mertua) dan anak laki-laki suami (anak tiri) atau anak susuan,
saudara sesusuan dan karena sebab yang lain.
b.
Al-Hafidẓ, mahram perempuan adalah orang yang diharamkan baginya atas
dasar ikatan (pernikahan) kecuali ibu hasil hubungan badan yang syubhat
dan wanita yang dilaknat. Maka keduanya tidak menjadi mahram. Dan sebagian ummahātul
mukminῑn[2] juga
berpendapat seperti ini mengenai pengertian mahram karena sebab pernikahan.
Tidak haram bagi perempuan tersebut dan ia
keluar dari ikatan saudara perempuan, bibi dari bapak dan ibu, anak
prempuan jika melakukan akad dengan ibu akan tetapi belum sampai melakukan
hubungan badan.[3]
c. Ibnu Qudamah rahimahullah adalah semua orang
yang haram untuk dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab, persusuan dan
pernikahan, seperti bapaknya, anaknya atau saudara laki-lakinya karena sebab
nasab atau sepersusuan.[4]
d. Ibnu Atsir rahimahullah adalah
yang diharamkan menikah dengan sanak keluarganya
seperti bapak, anak, saudara laki-laki, pamannya atau yang lainnya yang masih
memiliki ikatan mahram.
c. Muhammad khasyad rahimahullah adalah seorang yang
haram menikah atas dasar ikatan karena sebab pernikahan, nasab, persusuan atau
sebab yang lain.[5]
d.
Syaikh Shaleh Al-Fauzan
rahimahullah adalah semua orang yang haram dinikahi selama-lamanya karena sebab
nasab seperti bapak, anak, dan saudaranya atau dari sebab-sebab pernikahan yang
lain seperti saudara sepersusuannya, ayah ataupun anak tirinya. Jadi
definisi mahram secara keseluruhan adalah larangan atau pengharaman yang
berkaitan dengan hokum misalnya; pernikahan, safar, batasan aurat serta hokum
berjabat tangan dll.
B.
Perbedaan “Mahram” dan “Muhrim”
Sekilas kata mahram dan muhrim terdengar sama
ditelinga kita, sehingga sering kali terjadi kekeliruan dalam memahami
antara makna “mahram” dengan “Muhrim” padahal keduanya memiliki makna yang
berbeda. Kalau muhrim itu artinya orang yang sedang ihrom untuk haji dan umroh,
Sedangkan mahram adalah orang yang haram bagi
kita untuk menikah dengannya, yang mana kita juga diperbolehkan memperlihatkan
aurat atau perhiasan sesuai batas yang telah ditetapkan.
Penting
bagi kita sebagai seorang muslimah untuk mengetahui dan memahami permasalahan
ini, karena permasalahan mahram itu sangat erat kaitannya dengan lingkungan
sekitar kita, terkhusus bagi para wanita muslimah yang mana mempunyai
aturan-aturan yang lebih rumit di bandingkan laki-laki. Oleh karena itu kami disini
akan menjelaskan beberapa point atau aturan-aturan yang berkaitan dengan mahram.
D.
Macam-macam mahram
1.
Mahram Muabbad: Wanita yang
tidak boleh dinikahi laki-laki selamanya, karena wanita tersebut memiliki sifat
yang tidak bisa dihilangkan. Misalnya;
seorang anak laki-laki tidak boleh menikahi ibunya, adapun sebab pengharamannya
itu dikarenakan sifat yang terdapat pada ibu tidak dapat dihilangkan selamanya
(darah daging) .[6]
2.
Mahrom Muaqqat: Wanita yang tidak boleh di nikahi laki-laki sampai
sebab pengharamannya hilang. Misalnya; seorang laki-laki tidak boleh menikahi
saudara perempuan istrinya selama istrinya masih bersamanya.
E. Pembagian Mahram
Muabbad
Mahram
muabbad dibagi menjadi 4 macam diantaranya;
1.
Mahram disebabkan adanya hubungan kerabat.
Dalil syar’i tentang
mahram yang disebabkan oleh hubungan kekerabatan حُرِّمَـت
عَلَيكُم أمَّهَاتُكُم وَبَنَاتُكُم وَأَخَوَاتُكُم وَعَمّاَتُكُم وَخَالاَتُكُم
وَبَنَاتُ الأَخِ وَبَنَاتُ الأُختِ
Maksud dari ayat tersebut diharamkan menikahi
ibu, anak, saudara perempuan, bibi dari ayah, bibi dari ibu anak perempuan saudara laki-laki dan saudara
perempuan.
a.
Bagaimana status anak hasil zina?
Pendapat imam
syafi’ : seorang ayah tidak diharamkan menikahinya, karena ajnabi (dia bukan
mahromnya) dengan dalih terputusnya seluruh hukum nasab baik dari hukum waris
maupun selainnya, akan tetapi hal itu dimakhrukan dan tidak ada perselisihan
dalam pemakruhannya. Akan tetapi dibantah oleh ahlul ilmi yang lain
diantaranya:
1.
Imam ‘Ala udin al kasani berkata; anak hasil zina haram dinikahi
karena dia adalah anak biologis ayahnya, akan tetapi syari’at melarang untuk
menasabkan kepada ayahnya. Sebagaimana dalam hal waris dan nafkah.
2.
Ibnu Qudamah Al-Hanbali menolak pendapat dihalalkannya menikahi anak
hasil zina dengan firman Allah;
حُرِّمَـت
عَلَيكُم أمَّهَاتُكُم وَبَنَاتُكُم........
Karena anak tersebut berasal darinya.
3.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata ; Diharamkan menikahi anak hasil zina. Imam ahmad meriwayatkan
hadist Abi thalib tentang seorang laki-laki yang berzina dengan perempuan
sehingga lahirlah anak perempuan yang kemudian dinikahinya, lalu rasulullah
berkata, menikahi anaknya? Dia harus dibunuh karena kedudukannya seperti orang
yang murtad.
4.
Didalam Kitab Tafsir Ibnu Katsir.
Dalam masalah ini Jumhur ulama menjadikan penggalan kata “وَبَنَاتُكُم ” sebagai dalil pengharaman menikah dengan anak hasil zina,
sebab kata tersebut menunjukkan keumuman sehingga anak hasil zina termasuk
dalam penggalan ayat tersebut, pendapat ini dianut juga oleh madzhab Abu
Hanifah, Malik dan Ibnu Hambal. Dan
pendapat inilah yang rajih (kuat) sedangkan yang berpendapat membolehkan untuk
menikahinya, itu dhoif.[7]
Adapun hikmah
diharamkannya menikahi mahram karena hubungan kekerabatan; Karena mempersempit
silaturrahmi dan menyeleweng dari fitrahnya,
2. Mahram disebabkan adanya hubungan pernikahan.
Dalil syar’I dalam Al-Qur’an S. An Nisa: 22
وَلاَتَنكِحُوا
مَا نَكَحَ ءَابَاؤُكُم مِنَ النِّساءِ إِلاَّ مَا قَدسَلَفَ إِنَّهُ كَان فحِشَةً
وَمَقتًا
وَ سَاءَ سَبِيلا
Artinya:
Janganlah
kamu menikahi istri yang telah dinikahi oleh bapak-bapakmu, kecuali pada masa
yang telah lampau. Sesungguhnya itu merupakan perbuatan keji, dimurkai Allah
dan seburuk-buruknya jalan.
3.
Mahram disebabkan adanya hubungan sepersusuan
4.
Mahram disebabkan adanya li’an
F. Wanita dengan
Mahram
Yang
berkenaan tentang hukum wanita dengan mahromnya adalah:
1.
Tidak boleh menikah
Alloh
Ta'ala berfirman:
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita yang
telah dinikahi oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya
perbuatan itu amat sangat keji dan
dibenci oleh Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas
kamu (menikahi) ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara perempuan bapakmu, saudara
perempuan ibumu, anak perempuan saudaramu yang laki-laki, anak perempuan saudaramu
yang perempuan, ibu yang menyusuimu, saudara perempuan sepersusuan, ibu istrimu
(mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istrimu yang telah
kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudahkamu
cerai), maka tidak dosa kamu menikahinya, dan diharamkan bagimu istri-istri
anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang
bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa': 22-23).
2. Boleh menjadi wali pernikahan
Wali adalah syarat sah sebuah pernikahan,
sebagaimana diriwayatkan oleh 'Aisyah
bahwasanya rasulullah bersabda:
“Siapa saja wanita yang menikah tanpa izin
walinya, maka nikahnya batil.”[8]
Juga riwayat dari Abi Musa Al Asy'ari berkata:
rasulullah bersabda: Tidak sah nikah kecuali ada wali. [9]
Berkata Imam At Tirmidzi: "Yang
diamalkan oleh para sahabat Nabi dalam masalah wali pernikahan adalah hadits
ini, diantaranya adalah Umar bin Khoththob, Ali bin Abi Tholib, Ibnu Abbas, Abu
Hurairoh danjuga selain mereka." Namun tidak semua mahram berhak menjadi
wali pernikahan begitu juga sebaliknya tidak semua wali itu harus dari mahramnya.
Contoh wali yang bukan dari mahram seperti anak laki-laki paman (saudara sepupu
laki-laki), orang yang telah memerdekakannya. Adapun Mahram yang tidak bisa
menjadi wali seperti mahram karena sebab mushaharah.[10]
4.
Tidak boleh safar (bepergian jauh) kecuali dengan mahramnya
Banyak sekali hadits yang melarang wanita
mengadakan safar kecuali dengan mahramnya, di antaranya: Dari Abu Sa'id Al
Khudri ia berkata: Berkata rasulullah: "Tidak halal bagi seorang wanita
yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk mengadakan safar lebih dari tiga
hari kecuali bersama ayah, anak laki-laki, suami, saudara laki-laki atau mahramnya
yang lain."[11]
Dari Abdullah bin Amr bin Ash dari Rasululloh
berkata: "Janganlah seorang wanita muslimah bepergian selama dua hari kecuali
bersama suaminya atau mehramnya." Dari Abu Hurairah, Bersabda Rasulullah: "Tidak
halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk mengadakan
safar sehari semalam tidak bersama mahramnya."[12]
Dari beberapa hadits ini, kita ketahui bahwa
terlarang bagi wanita muslimah untuk mengadakan safar kecuali bersama mahramnya,
baik safaritu lama ataupun sebentar. Adapun batasan beberapa hari yang terdapat
dalam hadits diatas tidak dapat di fahami sebagai batas minimal.
Berkata Syaikh Salim Al Hilali: "Para Ulama'
berpendapat bahwa batasan hari dalam beberapa hadits di atas tidak dimaksud
untuk batasan minimal. Dikarenakan ada riwayat yang secara umum melarang wanita
safar kecuali bersama mahramnya, baik lama maupun sebentar, seperti riwayat
Ibnu Abbas . Beliau berkata: Saya mendengar rasulullah bersabda: "Janganlah
seorang laki-laki berkhalwat (berduaan) dengan seorang wanita kecuali bersama mahramnya,
juga jangan safar dengan wanita kecuali bersama mahramnya, Maka ada seorang
lelaki berdiri lalu berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya istri saya pergi
haji padahal saya ikut dalam sebuah peperangan. Maka rasulullah menjawab:
"Berangkatlah untuk berhaji dengan istrimu."[13]
Berkata Al Hafidz Ibnu Hajar: "Kebanyakan
ulama memberlakukan larangan ini untuk semua safar, karena pembatasan yang
terdapat dalam hadits-hadits tersebut sangat berbeda-beda."[14]
Syaikh Sholeh Al Fauzan ditanya tentang hukum
wanita safar dengan naik pesawat domestik dalam negeri tanpa mahrom, apakah itu
dibolehkan? Jawab beliau: “Tidak boleh bagi seorang wanita mengadakan safar
tanpa mahram, baik naik pesawat ataupun mobil, karena rasulullah. bersabda: "Tidak
halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir mengadakan safar sehari
semalam kecuali bersama mahrom". Maka safar wanita tanpa mahrom itu tidak
boleh meskipun dengan alat transportasi yang cepat, karena pesawat ataupun mobil
itu mungkin saja bisa terlambat, rusak, atau terjadi hal-hal lain yang
mengharuskan wanita itu harus bersama mahramnya agar bisa menjaganya saat
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan."
4. Tidak boleh Khalwat
(berdua-duaan) kecuali bersama mahromnya.
5. Tidak boleh menampakkan
perhiasannya kecuali kepada mahrom.
6. Tidak
boleh berjabat tangan kecuali dengan mahromnya
Jabat tangan dengan wanita di zaman ini sudah
menjadi sesuatu yang lumrah, padahal rasulullah sangat mengancam keras
pelakunya: Dari Ma'qil bin Yasar: Bersabda rasulullah: "Seandainya kepala
seseorang di tusuk dengan jarum dari
besi itu lebih baik dari pada menyentuh wanita yang tidak halal baginya."
Berkata Syaikh Al Albani: "Dalam hadits ini
terdapat ancaman keras terhadap orang-orang yang menyentuh wanita yang tidak
halal baginya, termasuk masalah berjabat tangan, karena jabat tangan itu
termasuk menyentuh." Dan rasulullah tidak pernah berjabat tangan dengan
wanita, meskipun dalam keadaan-keadaan penting seperti membai'at dan lain-lain.
Dari Umaimah binti Ruqaiqah: Bersabda rasulullah: "Sesungguhnya saya tidak
berjabat tangan dengan wanita"[15]
Dari Aisyah (ia berkata),"Demi Allah, tangan
rasulullah tidak pernah menyentuh tangan wanita sama sekali meskipun dalam
keadaan membaiat. Beliau tidak membaiat mereka kecuali dengan mengatakan:
"Saya bai'at kalian."[16]
Keharaman berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahromnya ini berlaku umum,
baik wanita itu masih muda ataupun sudah tua, cantik ataukah jelek, juga baik
jabat tangan tersebut langsung bersentuhan kulit ataukah dilapisi dengan kain.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz pernah tanya tentang
hal tersebut, maka beliau menjawab: "Tidak boleh berjabat tangan dengan
wanita yang bukan mahramnya secara mutlak, baik wanita tersebut masih muda ataukah
sudah tua renta, baik lelaki yang berjabat tangan tersebut masih muda ataukah
sudah tua, karena berjabat tangan ini bisa menimbulkan fitnah. Juga tidak
dibedakan apakah jabat tangan ini ada pembatasnya ataukah tidak, hal ini
dikarenakan keumuman dalil (larangan jabat tangan), juga untuk mencegah
timbulnya fitnah.
G. Dianggap Mahrom, Padahal
Bukan
Akibat Kurangnya perhatian dalam mendalami ilmu
agama Islam,dan berlomba-lombanya manusia untuk mempelajari dan mengembangkan
ilmu dunia maka banyak kita jumpai umat Islam yang tidak faham akan agamanya
sendiri, baik itu dari segi aqidah, fiqih, sejarah Islam dll. Salah satunya
adalah adanya beberapa anggapan keliru dalam mahram. Otomatis berakibat fatal,
orang-orang yang sebenarnya bukan mahrom dianggap sebagai mahramnya. Berikut
beberapa orang yang dianggap mahrom tersebut:
1.
Ayah dan Anak Angkat.
Hal ini berdasarkan
firman Alloh: …Dan dia tidak menjadikan anak angkatmu sebagai anak kandungmu.
(QS.Al-Ahzab:4).
Dan ayat ini dilanjutkan dengan firman-Nya: “Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak’mereka, itulah yang lebih adil disisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu dan tidak ada dosa bagimu jika kamu khilaf tentang itu tetapi yang ada dosanya apa yang disengaja oleh hatimu. Allah maha pengampun Allah maha penyayang.[Al-Ahzab :5]
Berkata Imam Al Qurthubi rahimahullah: “Seluruh ulama tafsir sepakat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Zaid bin Haritsah. Para imam hadits telah meriwayatkan dari Ibnu Umar, Beliau berkata: “Dulu tidaklah kami memanggil Zaid bin Haritsah kecuali dengan Zaid bin Muhammad sehingga turun firman Allah Ta’ala:
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka….”[4]
Berkata Imam Ibnu Katsir: “Ayat ini menghapus hukum yang terdapat di awal Islam yaitu bolehnya mengambil anak angkat, yang mana dahulu kaum muslimin memperlakukan anak angkat seperti anak sendiri dalam masalah khalwah dan yang lainnya”. Maka Allah memerintahkan mereka untuk mengembalilkan nasab mereka kepada bapak-bapak mereka yang sebenarnya. Oleh karena itulah Allah membolehkan menikah dengan bekas istri anak angkat. Dan Rasulullah menikah dengan Zainab binti Jahsy setelah di ceraikan oleh Zaid bin Haritsah.
Dan ayat ini dilanjutkan dengan firman-Nya: “Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak’mereka, itulah yang lebih adil disisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu dan tidak ada dosa bagimu jika kamu khilaf tentang itu tetapi yang ada dosanya apa yang disengaja oleh hatimu. Allah maha pengampun Allah maha penyayang.[Al-Ahzab :5]
Berkata Imam Al Qurthubi rahimahullah: “Seluruh ulama tafsir sepakat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Zaid bin Haritsah. Para imam hadits telah meriwayatkan dari Ibnu Umar, Beliau berkata: “Dulu tidaklah kami memanggil Zaid bin Haritsah kecuali dengan Zaid bin Muhammad sehingga turun firman Allah Ta’ala:
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka….”[4]
Berkata Imam Ibnu Katsir: “Ayat ini menghapus hukum yang terdapat di awal Islam yaitu bolehnya mengambil anak angkat, yang mana dahulu kaum muslimin memperlakukan anak angkat seperti anak sendiri dalam masalah khalwah dan yang lainnya”. Maka Allah memerintahkan mereka untuk mengembalilkan nasab mereka kepada bapak-bapak mereka yang sebenarnya. Oleh karena itulah Allah membolehkan menikah dengan bekas istri anak angkat. Dan Rasulullah menikah dengan Zainab binti Jahsy setelah di ceraikan oleh Zaid bin Haritsah.
Alloh berfirman: “Maka
tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya),
Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu’min
untuk mengawini istri-istri anak angkat mereka… [Al Ahzab : 37]
2. Sepupu
(Anak Paman/Bibi).
Hal ini berdasarkan firman Alloh setelah
menyebutkan macam-macam orang yang haram untuk di nikahi. Dalam ayat surat
annisa disebutkan orang2 yg menjadi mahram yang mana sepupu tidak disebutkan
sehingga disimpulkan bahwa sepupu bukan termasuk mahram.
3.
Saudara Ipar.
Hal ini berdasarkan hadits berikut:
"Waspadalah
oleh kalian dari masuk kepada para wanita, berkatalah seseorang dari Anshor: "Wahai
Rasulullah bagaimana pendapatmu kalau dia adalah Al-Hammu (kerabat suami)? Rasulullah
bersabda: "Al-Hamwu adalah merupakan kematian."
Imam
Baghowi berkata: "Yang dimaksud dalam hadits ini adalah saudara suami (ipar)
karena dia tidak termasuk mahram bagi si istri. Dan seandainya yang dimaksudkan
adalah mertua padahal dia termasuk mahram,lantas bagaimanakah pendapatmu
terhadap orang yang bukan mahram?".Lanjutnya: "Maksudnya, waspadalah
terhadap saudara ipar sebagaimanaengkau waspada dari kematian".
4.
Mahrom Titipan.
Kebiasaan yang sering terjadi, apabila ada
seorang wanita ingin bepergian jauh seperti berangkat haji, dia mengangkat
seorang lelaki yang 'berlakon' sebagai mahrom sementaranya. Ini merupakan
musibah yang sangat besar..
D.
Macam-macam mahram
Mahramterbagi
menjadi dua ya’itu mahram mu’abbad danmahram muaqqat
1. Mahram Muabbad ;
istilah muabbad bermakna abadi, berkesinambungan,
terus-terusan, atau selamanya. Dan makna
ghairu muabbad adalah lawannya, yaitu untuk sementara waktu, temporal, dan
terbatas waktunya. Sewaktu-waktu bisa berubah keadaannya. Maka bila kedua
istilah itu kita padukan menjadi mahram muabbad, artinya adalah hubungan
kemahraman yang bersifat abadi, seterusnya, tidak akan pernah berubah dan
selama-lamanya.
2. Mahrom Mu’aqqot;
mahram
ghairu muabbad adalah lawannya, yaitu hubungan kemahraman yang bersifat
sementara, temporal,sewaktu-waktu bisa saja berubah dan tidak abad Adapun yang
dimaksud dengan mahram ghoiru mu’abbadah adalah wanita-wanita untuk sementara
waktu saja, namun bila terjadi sesuatu seperti perceraian, kematian, habisnya
masa iddah ataupun pindah agama, maka wanita itu boleh dinikahi.
E. Penjelasan
Mahram Muabbad
Mahram
muabbad dibagi menjadi 4 macam diantaranya:
1.Mahram
karena nasab
2.Mahram
karena rada’ah/ persusuan
3.Mahram
karena musoharoh / pernikahan
4.
Mahrom karena li’an
F. Mahrom dari
sebab nasab
1].Ayah
Termasuk dalam kategori bapak yang merupakan mahrom bagi wanita adalah kakek, baik kakek dari bapak maupun dari ibu. Juga bapak-bapak mereka ke atas. Adapun bapak angkat, maka dia tidak termasuk mahrom berdasarkan firman Alloh Ta’ ala: “….Dan Alloh tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu … ” [Al-Ahzab : 4] Dan ayat ini dilanjutkan dengan firman-Nya:“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak’mereka, itulah yang lebih adil disisi Alloh, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu…. [Al-Ahzab : 5]
Berkata Imam Al Qurthubi rahimahullah: “Seluruh ulama tafsir sepekat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Zaid bin Haritsah. Para imam hadits telah meriwayatkan dari Ibnu Umar, Beliau berkata: “Dulu tidaklah kami memanggil Zaid bin Haritsah kecuali dengan Zaid bin Muhammad sehingga turun firman Allah Taala: “Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka….”Berkata Imam Ibnu Katsir: “Ayat ini menghapus hukum yang terdapat di awal Islam yaitu bolehnya mengambil anak angkat, yang mana dahulu kaum muslimin memperlakukan anak angkat seperti anak sendiri dalam masalah kholwah dan yang lainnya”.
Maka Alloh memerintahkan mereka untuk mengembalikan nasab mereka kepada bapak-bapak mereka yang sebenarnya. Oleh karena itulah Alloh membolehkan menikah dengan bekas istri anak angkat. Dan Rosululloh menikah dengan Zainab binti Jahsy setelah di ceraikan oleh Zaid bin Haritsah. Alloh berfirman: “Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu’min untuk mengawini istri-istri anak angkat mereka… [Al Ahzab : 37]
Oleh karena itu Alloh berfirman tentang wanita-wanita yang diharamkan menikah dengannya: “Dan istri anak kandungmu… [AnNisa’ :23]
Termasuk dalam kategori bapak yang merupakan mahrom bagi wanita adalah kakek, baik kakek dari bapak maupun dari ibu. Juga bapak-bapak mereka ke atas. Adapun bapak angkat, maka dia tidak termasuk mahrom berdasarkan firman Alloh Ta’ ala: “….Dan Alloh tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu … ” [Al-Ahzab : 4] Dan ayat ini dilanjutkan dengan firman-Nya:“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak’mereka, itulah yang lebih adil disisi Alloh, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu…. [Al-Ahzab : 5]
Berkata Imam Al Qurthubi rahimahullah: “Seluruh ulama tafsir sepekat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Zaid bin Haritsah. Para imam hadits telah meriwayatkan dari Ibnu Umar, Beliau berkata: “Dulu tidaklah kami memanggil Zaid bin Haritsah kecuali dengan Zaid bin Muhammad sehingga turun firman Allah Taala: “Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka….”Berkata Imam Ibnu Katsir: “Ayat ini menghapus hukum yang terdapat di awal Islam yaitu bolehnya mengambil anak angkat, yang mana dahulu kaum muslimin memperlakukan anak angkat seperti anak sendiri dalam masalah kholwah dan yang lainnya”.
Maka Alloh memerintahkan mereka untuk mengembalikan nasab mereka kepada bapak-bapak mereka yang sebenarnya. Oleh karena itulah Alloh membolehkan menikah dengan bekas istri anak angkat. Dan Rosululloh menikah dengan Zainab binti Jahsy setelah di ceraikan oleh Zaid bin Haritsah. Alloh berfirman: “Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu’min untuk mengawini istri-istri anak angkat mereka… [Al Ahzab : 37]
Oleh karena itu Alloh berfirman tentang wanita-wanita yang diharamkan menikah dengannya: “Dan istri anak kandungmu… [AnNisa’ :23]
Jadi tidak
termasuk yang diharamkan istri anak angkat.[17]
Berkata Imam Muhammad Amin Asy Syinqithi: “Difahami dari firman Alloh
Ta’ala : “Dan istri anak kandungmu” [An Nisa’: 23]. Bahwa istri anak
angkat tidak termasuk yang diharamkan, dan hal ini ditegaskan oleh Alloh
dalam(Q.S Al Ahzab ayat 4,37,40)
[2].Anaklaki-laki[18] ya’itu setiap laki-laki yang bernasab pada wanita karena kelahiran seperti anak lelaki kandung termasuk dalam kategori anak laki-laki bagi wanita adalah cucu, baik cucu dari anak laki-laki maupun anak perempuan dan keturunan mereka.
[2].Anaklaki-laki[18] ya’itu setiap laki-laki yang bernasab pada wanita karena kelahiran seperti anak lelaki kandung termasuk dalam kategori anak laki-laki bagi wanita adalah cucu, baik cucu dari anak laki-laki maupun anak perempuan dan keturunan mereka.
[3]. Saudara laki-laki, baik saudara laki-laki kandung maupun saudara sebapak ataupun seibu saja.(dari pihak manapun)
[4]. Anak laid-laki saudara (keponakan), baik keponakan dari saudara laki-laki maupun perempuan dan anak keturunan mereka.
[5]. Paman,ya’itu saudara laki-laki ibunya/ ayah baik paman dari bapak ataupun paman dari ibu.[19] Berkata Syaikh Abdul Karim Zaidan: “Tidak disebutkan paman termasuk mahrom dalam ayat ini [An Nur: 31] di karenakan kedudukan paman sama seperti kedudukan kedua orang tua, bahkan kadang-kadang paman juga disebut sebagai bapak. Alloh Ta’ala berfirman: “Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan bapak-bapakmu Ibrahim, Ismail dan Ishaq….” [Al-Baqarah: 133]Sedangkan Isma’il adalah paman dari putra-putra Ya’qub. Dan bahwasanya paman termasuk mahrom adalah pendapat jumhur ulama’. Hanya saja imam Sya’bi dan Ikrimah, keduanya berpendapat bahwa paman bukan termasuk mahrom karena tidak disebutkan dalam ayat ini juga dikarenakan hukum paman mengikuti hukum anaknya (padahal anak paman atau saudara sepupu bukan termasuk mahrom -pent).[20]
G. Mahrom Karena Persusuan
Pembahasan ini kita bagi
menjadi beberapa fasal sebagai berikut:
A. Definisi Hubungan Persusuan
Persusuan : Adalah masuknya air susu seorang wanita kepada anak kecil dengan syarat-syarat tertentu.[21]
Sedangkan persusuan yang menjadikan seseorang menjadi mahrom adalah lima kali persusuan, berdasar pada hadits dari Aisyah, beliau berkata :
“Termasuk yang di turunkan dalam Al Qur’an bahwa sepuluh kali persusuan dapat mengharamkan (pernikahan) kemudian dihapus dengan lima kali persusuan.”
Ini adalah pendapat yang rajih di antara seluruh pendapat para ulama’.
A. Definisi Hubungan Persusuan
Persusuan : Adalah masuknya air susu seorang wanita kepada anak kecil dengan syarat-syarat tertentu.[21]
Sedangkan persusuan yang menjadikan seseorang menjadi mahrom adalah lima kali persusuan, berdasar pada hadits dari Aisyah, beliau berkata :
“Termasuk yang di turunkan dalam Al Qur’an bahwa sepuluh kali persusuan dapat mengharamkan (pernikahan) kemudian dihapus dengan lima kali persusuan.”
Ini adalah pendapat yang rajih di antara seluruh pendapat para ulama’.
Na sepersusuan sebagaimana
jenis-jenis yang di haramkan karena nasab, dan menjadikan wanita yang menyusui
tsb berkedudukan sebagai ibu kandung. Jadi laki-laki sepersusuan yang di
haramkan menikah dengan yang di susui wanita tsb.[22]
2). Anak laki-laki dari ibu susu. Termasuk anak susu adalah cucu dari anak susu baik lakilaki maupun perempuan. Juga anak keturunan mereka.
3). Saudara laki-laki sepersusuan. Baik dia saudara susu kandung, sebapak maupun cuma seibu.
4). Keponakan persusuan (anak saudara.persusuan). Baik anak saudara persusuan laki-laki maupun perempuan, juga keturunan mereka.
5). Paman persusuan (saudara laki-laki bapak atau ibu susu).
H. Mahrom karena
mushoharoh
A. Definisi Mushoharoh
Mushoharoh berasal dari kalimat : Ash-Shihr. Berkata Imam Ibnu Atsir : “Shihr adalah mahrom karena pernikahan”.
Berkata Syaikh Abdul Karim Zaidan: “Mahrom wanita yang disebabkan mushoharoh adalah orang-orang yang, haram menikah dengan wanita tersebut selama-lamanya seperti ibu tiri, menantu perempuan, mertua perempuan”.
Maka mahrom yang disebabkan mushoharoh bagi ibu tiri adalah anak suaminya dari istrinya yang lain (anak tirinya), dan mahrom mushoharoh bagi menantu perempuan adalah bapak suaminya (bapak mertua), sedangkan bagi ibu istri (ibu mertua) adalah suami putrinya (menantu laki-laki).”
Dalil Mahrom Sebab Mushoharoh
Firman Alloh:
“…Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami mereka,atau ayah mereka,atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka… [An Nur : 31]
Firman Alloh Ta’ala:
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu (ibu tiri)… [An Nisa’ : 22]
Firman Alloh Ta’ala:
“Diharamkan atas kamu (mengawini) … ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu (anak: tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, dan istri-istri anak kandungmu (menantu)… [An Nisa’: 23]
Berdasarkan ayat-ayat di atas maka dapat kita ketahui bahwa orang-orang yang haram dinikahi selama-lamanya karena sebab mushoharoh ada lima yaitu:
1). Suami
Berkata Imam Ibnu Katsir, ketika menasirkan firman Alloh ta’ala surat An Nur: 31 “Adapun suami, maka semua ini (bolehnya menampakkan perhiasan, perintah menundukkan pandangan dari orang lain -pent) memang diperuntukkan baginya: Maka seorang istri berbuat sesuatu untuk suaminya yang tidak dilakukannya dihadapan orang lain.” [19]
Berkata Imam Qurthubi dan Syaukani: “Makna [bu’uulatihinna] adalah suami dan tuan bagi seorang budak wanita sebagaimana firman Alloh: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluan mereka kecuali kepada istri dan budak mereka, maka mereka itu tidak tercela” [Al Mu’minun: 5-6]. [20]
2). Ayah Mertua (Ayah Suami)
Mencakup ayah suami atau bapak dari ayah dan ibu suami juga bapak-bapak mereka keatas. [21]
3). Anak Tiri (Anak suami dari istri lain)
Termasuk anak tiri adalah cucu tiri baik cucu dari anak tiri laki-laki maupun perempuan, begitu juga keturunan mereka.
Maka haram bagi seorang wanita untuk menikah dengan anak tirinya, begitu juga sebaliknya. Berkata Imam Ibnu Katsir saat menafsirkan firman Alloh : “Janganlah kalian menikah dengan wanita-wanita yang (pernah) dinikahi oleh bapak-bapak kalian” [An Nisa’: 22] “Alloh Ta’ala mengharamkan menikah dengan istri-istri bapak (ibu tiri) demi menghormati mereka, dengan sekedar terjadi akad nikah baik terjadi jima’ ataupun tidak, dan masalah ini telah disepakati oleh para ulama’.”
Mushoharoh berasal dari kalimat : Ash-Shihr. Berkata Imam Ibnu Atsir : “Shihr adalah mahrom karena pernikahan”.
Berkata Syaikh Abdul Karim Zaidan: “Mahrom wanita yang disebabkan mushoharoh adalah orang-orang yang, haram menikah dengan wanita tersebut selama-lamanya seperti ibu tiri, menantu perempuan, mertua perempuan”.
Maka mahrom yang disebabkan mushoharoh bagi ibu tiri adalah anak suaminya dari istrinya yang lain (anak tirinya), dan mahrom mushoharoh bagi menantu perempuan adalah bapak suaminya (bapak mertua), sedangkan bagi ibu istri (ibu mertua) adalah suami putrinya (menantu laki-laki).”
Dalil Mahrom Sebab Mushoharoh
Firman Alloh:
“…Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami mereka,atau ayah mereka,atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka… [An Nur : 31]
Firman Alloh Ta’ala:
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu (ibu tiri)… [An Nisa’ : 22]
Firman Alloh Ta’ala:
“Diharamkan atas kamu (mengawini) … ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu (anak: tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, dan istri-istri anak kandungmu (menantu)… [An Nisa’: 23]
Berdasarkan ayat-ayat di atas maka dapat kita ketahui bahwa orang-orang yang haram dinikahi selama-lamanya karena sebab mushoharoh ada lima yaitu:
1). Suami
Berkata Imam Ibnu Katsir, ketika menasirkan firman Alloh ta’ala surat An Nur: 31 “Adapun suami, maka semua ini (bolehnya menampakkan perhiasan, perintah menundukkan pandangan dari orang lain -pent) memang diperuntukkan baginya: Maka seorang istri berbuat sesuatu untuk suaminya yang tidak dilakukannya dihadapan orang lain.” [19]
Berkata Imam Qurthubi dan Syaukani: “Makna [bu’uulatihinna] adalah suami dan tuan bagi seorang budak wanita sebagaimana firman Alloh: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluan mereka kecuali kepada istri dan budak mereka, maka mereka itu tidak tercela” [Al Mu’minun: 5-6]. [20]
2). Ayah Mertua (Ayah Suami)
Mencakup ayah suami atau bapak dari ayah dan ibu suami juga bapak-bapak mereka keatas. [21]
3). Anak Tiri (Anak suami dari istri lain)
Termasuk anak tiri adalah cucu tiri baik cucu dari anak tiri laki-laki maupun perempuan, begitu juga keturunan mereka.
Maka haram bagi seorang wanita untuk menikah dengan anak tirinya, begitu juga sebaliknya. Berkata Imam Ibnu Katsir saat menafsirkan firman Alloh : “Janganlah kalian menikah dengan wanita-wanita yang (pernah) dinikahi oleh bapak-bapak kalian” [An Nisa’: 22] “Alloh Ta’ala mengharamkan menikah dengan istri-istri bapak (ibu tiri) demi menghormati mereka, dengan sekedar terjadi akad nikah baik terjadi jima’ ataupun tidak, dan masalah ini telah disepakati oleh para ulama’.”
4). Ayah Tiri (Suami ibu tapi bukan bapak kandungnya).
Maka haram bagi seorang wanita untuk dinikahi oleh ayah tirinya, kalau sudah berjima’ dengan ibunya. Adapun kalau belum maka hal itu dibolehkan.
Berkata Abdulloh Ibnu Abbas: “Seluruh wanita yang pernah dinikahi oleh bapak maupun anakmu, maka dia haram bagimu.”
5). Menantu Laki-Laki (Suami putri kandung)
Dan kemahroman ini terjadi sekedar putrinya di akadkan kepada suaminya.
Mahrom karena li’an
Ya’itu haramnya suami
istriuntuk bersatu kembali selamanya setelah keduanya saling melakukan sumpah
li’aan
Merupakan lawan dari mahram
mu’abbad yaitu hubungan kemahraman yang
bersifat sementara, temporal,sewaktu-waktu bisa saja berubah dan tidak abadi
Wanita yang haram dinikahi untuk sementara waktu.
a.
Saudara perempuan Istri (Menggabungkan diantara (Dua Wanita
Bersaudara). Tidak boleh seorang lelaki
menggabungkan antara seorang wanita dengan saudara perempuannya dalam satu akad
pernikahan, berdasarkan ijma’ ulama. Tetapi jika istrinya wafat atau
ditalaknya, maka ia boleh menikahi saudara perempuan istrinya itu.
Allah ta’ala berfirman, menjelaskan tentang
wanita-wanita yang haram dinikahi, “Dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua
perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.”
(An-nisa: 23)
Diriwayatkan dari Ummu Habibah
binti Abi Sufyan, ia berkata, “ Wahai Rasulullah, nikahilah saudara
perempuanku, yaitu anak Abu Sufyan.”
Nabi berkata, “Apakah kamu mau?” Aku menjawab, “Ya, aku tidak cemburu kepadamu,
dan orang yang paling aku sukai untuk bersyarikat denganku dalam kebaikan
adalah saudara perempuan ku sendiri.” Nabi berkata, “Sesungguhnya hal itu tidak
halal bagiku.”
Sama dalam hal ini, baik
keduanya itu saudara sekandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Sama pula
dalam hal ini, baik senasab maupun sepersusuan. Diperselisihhkan jika kedunanya
adalah budak yang dimiliki; apakah boleh
menggabungkan keduanya? Jumhur sahabat dan ulama sesudahnya melarangnya, dan
inilah yang benar. Seluruh yang disebutkan dalam ayat tentang wanita-wanita
yang haram dinikahi bersifat umum, mencakup pernikahan dan kepemilikan budak.
Demikian pula halnya menggabungkan dua wanita yang bersaudara.
Dua faidah:
1.
Jika seorang laki-laki menikahi seorang wanita, lalu ia menikahi
saudara perempuan istrinya*shahih fiqih sunnah 119/4,al umm 150/3, almuhalla571/6,dan
jami’ahkamun nisa 103/3. Maka pernikahan yang terakhir adalah batil. Adapun
pernikahan yang pertama adalah sah, baik ia telah mencampurinya maupun belum,
dan ia harus dipisahkan dengan wanita yang terakhir dinikahinya (yakni saudara
perempuan istrinya). Jika ia memiliki budak wanita yang telah disetubuhinya,
maka ia tidak boleh menyetubuhi saudara perempuan dari budaknya itu, kecuali
bila kemaluan budak wanita yang biasa disetubuhinya itu menjadi haram atasnya
dengan menjual, menikahkan, membebaskan dan sebagainya.Jika ia menikahi
keduanya dalam satu akad, maka akadnya batal, karena tidak bisa dibedakan salah
satunya dari yang lainnya.
2.Jika seorang kafir masuk islam, dan dahulunya ia
telah menikahi dua wanita yang bersaudara, maka ia diberi pilihan: menahan
salah satunya dan menceraikan yang lainnya, tidak ada pilihan lainnya, tidak
ada pilihan lain baginya dan itu harus dilakukannya. Disebutkan dengan sanad
yang lemah,
Fairuz ad Ad-Dailami berkata, aku mendatangi Nabi
lalu aku katakana, “Wahai Rasulullah, aku telah masuk islam dan aku memiliki dua
orang istri yang bersaudara.” Maka Nabi berkata, “Pilihlah salah satu dari
keduanya yang kamu sukai.”
b.
Bibi istri, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibunya (yakni
menggabungkan seorang wanita dengan bibinya, baik dari pihak ayah maupun dari
pihak ibunya)
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:
“Tidak boleh menggabungkan seorang wanita dengan
bibinya dari pihak ayahnya, dan seorang wanita dengan bibinya dari pihak
ibunya. Di riwayatkan dari Jabir ia
berkata, “Rasulullah melarang menikahi seorang wanita bersama bibinya, baik
bibi dari pihak ayahnya maupun bibi dari pihak ibunya.” tentang hal ini
terdapat ijma’ dari kalangan ulama yang diakui ijma’nya, tidak halal bagi
seorang laki-laki menggabungkan seorang wanita dengan bibinya, baik bibi dari
pihak ayahnya maupun bibi dari pihak ibunya. Baik bibi tersebut adalah bibi
hakiki maupun majazi, yaitu saudara perempuan kakek, saudara perempuan buyut,
saudara perempuan nenek, saudara perempuan buyut perempuan, baik dari pihak
ayah maupun dari pihak ibu, dan terus ke atas. Semuanya dilarang menggabungkan
keduanya. Dapat dikatakan: Diharamkan menggabungkan dua orang wanita yang karena
jika salah seorang dari keduanya terdapat hubungan nasab atau penyusuan. Karena
jika salah seorang dari keduanya adalah laki-laki, maka keduanya tidak boleh
menikah.” Ini adalah ash-shafarah (tanda peringatan).
Jika ia menikahi salah seorang
dari keduanya setelah menikahi yang lainnya, maka pernikahan terakhirlah yang
dibatalkan, seperti telah disebutkan tentang penggabungan dua wanita yang
bersaudara[24]
C. Seorang wanita yang telah menikah dengan
orang lain atau menjalani masa iddah bagi suaminya, kecuali wanita yang ditawan
dan istri orang kafir apabila telah masuk islam.
Hal
ini berdasarkan firman Allah : “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang
bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki.” (An-Nisa:24) Makna ayat ini,
diharamkan atas kalian menikahi wanita-wanita yang telah menikah, kecuali
budak-budak yang kalian miliki karena sebab penawanan. Sebab dengan hal ini,
batallah akad pernikahan dengan suaminya yang masih kafir dan ia halal bagi
kalian jika telah berakhir masa sucinya dari haid.
Hal
ini dikuatkan oleh hadist Abu Sa‘id Al Khudri bahwa rasulullah pernah
mengirimkan pasuka ke authas, merka berhasil menakhlukan musuh dan mendapatkan
sejumlah tawanan wanita. Beberapa sahabat merasa keberatan mencampuri mereka
karena statusnya masih sebagai istri orang-orang musyrik, maka Allah menurunkan
surat (An-Nisa: 24).
Ibnu Abbas mengatakan, “Setiap
wanita yang memiliki suami, maka mencampurinya adalah zina kecuali wanita
berstatus sebagai tawanan.
D. Wanita yang telah ditalak
tiga tidak halal bagi suaminya yang telah mentalaknya, kecuali jika ia telah
menikah dengan laki-laki lain dengan pernikahan yang benar
Berdasarkan firman Allah : jika
suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas
suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan
dapat menjalankan hukum-hukum Allah (Al-Baqarah: 230).
E. Wanita Musyrik hingga Masuk
Islam
Sebagaimana firman Allah; “Dan
janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
ia menarik hatimu.”(Al-Baqarah:221).
F. Wanita Pezina Hingga
Bertaubat dan Suci dengan Sekali Haid
Allah berfirman: “Laki-laki
yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina atau perempuan
yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh
laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan
atas orang-orang yang mu’min.”(An-Nur:3). Jumhur ulama’ kecuali Ahmad
berpendapat bahwa ayat ini bukan sebuah pengharaman tetapi celaan, sehingga
mereka membolehkan menikah dengan wanita pezina dengan alasan:
1.
Zhahir ayat bukanlah yang dimaksud, karena konsekwensinya bahwa pezina
Muslim dihalakan baginya menikahi wanita Musyrik. Demikian pula pezina Muslimah
dihalalkan dinikahi laki-laki Musyrik, padahal keduanya dilarang menikah
sebagaimana telah disebutkan.
2.
Ada seorang laki-laki yang berkata kepada Nabi tentang istrinya, “Ia
tidak pernah menolak tangan yang menyantuh.” Nabi berkata, “Ceraikanlah ia!” Ia
berkata, “aku tidak tahan berpisah darinya.” Mendengar hal itu maka beliau
berkata, “Kalau begitu tahanlah ia.”
Akan tetapi alasan di atas dibantah oleh Abu
Malik Kamal dengan hadits dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya,
Murtsid bin Abi Murtsid Al-Ghonawy membawa sejumlah tawanan dari Makkah. Di
antaranya seorang pelacur yang bernama Anaq dan dahulu dia adalah pacarnya. Ia
berkata, “Wahai Rasulullah, apakah aku boleh menikahi Anaq?” Nabi menahan diri
dan tidak menjawab pertanyaanku hingga turunlah firman Allah surat An-Nur ayat
3. Setelah itu Nabi berkata, “Wahai Murtsid, laki-laki pezina tidak menikahi
melainkan wanita pezina atau wanita musyrik, dan wanita pezina tidak dinikahi
kecuali oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik karenanya janganlah
menikahinya.”
Diperbolehkan menikahi wanita
pezina dengan dua syarat:
- Ia bertaubat. Karena dengan taubatnya maka hilanglah pengharaman untuk menikahinya.
- Suci dengan sekali haid. Ini adalah syarat menurut Imam Malik dan Imam Ahmad.
“Janganlah
disetubuhi wanita yang sedang hamil hingga ia melahirkan, dan jangan pula
wanita yang tidak hamil hingga haid dengan sekali haid.”
Beliau mensyaratkan kesucian
seorang budak wanita dengan sekali haid untuk memastikan kesucian rahimnya,
demikian juga menikahi wanita pezina.
G. Wanita yang Sedang Ihrom
hingga Tahallul
Karena jika ia mengadakan akad
maka nikahnya batal. Ini adalah pendapat jumhur yang berdasarkan hadits Utsman
bin Affan, ia berkata, Rasulullah bersabda, “Orang yang berihrom tidak boleh
dinikahkan dan tidak boleh pula meninang.”
H. Menikah dengan Istri yang
Kelima Selagi Ia Memiliki Empat Istri
Telah dijelaskan di dalam
Al-Qur’an, jumlah maksimal poligami yang diperbolehkan bagi kaum muslimin
adalah empat istri. Tidak halal bagi seorang muslim mengumpulkan lebih dari
empat istri kecuali pengkhususan yang diberikan Allah kepada RasulNya.
Menurut Imam Malik dan
Asy-syafi’i, barangsiapa menikahi lebih dari empat orang istri maka nikahnya
batal dan ia diberi hukuman(had) jika ia sudah mengetahui hukumnya. Menurut Az-
Zuhri jika sudah tahu hukumnya maka ia dirajam, sedangkan jika ia melakukannya
karena ketidaktahuan, maka ia dicambuk, dan wanita itu berhak mendapatkan
maharnya. Mereka juga tidak boleh bersatu lagi selama-lamanya.[25]
[1] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Indonesia - Arab, (Surabaya: Pustaka
Progressif, cet.14, 1997, p. 256-257
[2] Sebutan untuk istr-istri Nabi Shalallahu
‘alaihi Wasallam.
[3] Kitab Fathul
Barri, jil. 9, p. 332
[4] Abdul Karim ZaidanKitab Al
mufashol fi ahkamil mar’ati wa baitil
muslim fi syari’ati islamiyyah jilid 3
hal;148
[5] Muhammad Khasyad, Fiqhu Nisā’ fi Wuḍuil Madhahibil ‘Arba’ah, (Al-Qohirah:
Darul Kurub Al-Mu’aṣiroh, 1994), p. 142
[7] Kitab Al-Mufashol fi ahkamil mar’ati wa baitil
muslim fi syari’ati islamiyah jilid 6 hal;204
[8] Shohih,
diriwayatkan Abu Dawud: 2083, Tirmidzi: 3/408, Ibnu Majah: 1879, Ahmad6/47, Ad
Darimi 2/137.
[10]
Fiqh Sunnah (2/124) oleh Sayyid Sabiq.
[17] tafsir
ibnu katsir jilid 1
[18] shahih
fiqih sunnah abu malik kamal jilid 4
[19] Kitab Al-Mufashol fi ahkamil mar’ati wa baitil
muslim fi syari’ati islamiyah jilid 3 hal;160
[20] Ahmad sabiq bin
abdul latif : //www vbaitullah or id.
[21] Kitab Al-Mufashol fi ahkamil mar’ati wa baitil
muslim fi syari’ati islamiyah jilid 6 hal; 235
[22] Ibnu Hazm
Ad-Dhohiri Al Muhalla bil Atsar 2/10,
Mustafa Al -AdhawiJami’ ahkamun Nisa’3/47.
[24]
Al Umm150/3.Al Muhalla 521/9,Jami’ ahkamu An
Nisa109/3.