Rabu, 25 Februari 2015

KETENTUAN BATAS AURAT WANITA YANG DIPERBOLEHKAN UNTUK DILIHAT KETIKA NAZHAR (Madzhab Zhahiriyah)

0 komentar
Singkat aja....!
Dari madzhab Zhahiri.....
Masih Buram.....
Baru Belajar.....

PENGERTIAN
Nadhar secara etimologi berasal dari kata نظر – ينظر  melihat.
Secara terminologi adalah melihat calon pasangan suami/ istri sebelum diadakannya khitbah.[1]
Aurat secara etimologi adalah segala perkara yang dirasa malu ketika dilihat oleh orang lain.
Aurat secara terminologi adalah  sesuatu yang sengaja ditutupi  karena ia merasa malu jika sesuatu itu diketahui atau terlihat oleh orang lain.[2]  

DALIL-DALIL DARI AL-QUR’AN DAN HADITS TENTANG NAZHAR  
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang mereka berbuat.” (Q S.an-Nur:30)
عَنْ المُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ، أَنَّهُ خَطَبَ امْرَأَةً، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا» (رواه الخمسة إلا أبا داود)
        Dari Munghirah bin Syu’bah bahwasanya ia mengkhithbah seorang wanita, maka Rasulullah SAW bersabda: “Lihatlah wanita tersebut, karena dengan seperti itu akan lebih pantas untuk melanggengkan hubungan di antara kalian berdua.” (HR Imam Khomsah kecuali Abu-Daud).

عَنْ مُوسَى بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ أَوْ حُمَيْدَةَ الشَّكُّ مِنْ زُهَيْرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمْ امْرَأَةً فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا إِذَا كَانَ إِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَيْهَا لِخِطْبَتِهِ وَإِنْ كَانَتْ لَا تَعْلَمُ (رواه أحمد)
Dari Musa bin Abdullah dari Abi Humaid berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW: “Apabila seorang dari kalian ingin mengkhitbah seorang wanita, maka tidak ada dosa baginya melihat wanita tersebut, apabila tujuannya untuk meminangnya, walaupun wanita tidak mengetahui (bahwa dirinya sedang dilihat)).[3] (HR Ahmad).

BATAS AURAT LAKI-LAKI DAN WANITA  
Batasan aurat wanita adalah seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan. Batasan aurat laki-laki adalah dari pusar hingga lutut.    

KETENTUAN BATAS MELIHAT AURAT WANITA KETIKA NAZHAR
Ada perbedaan pendapat dikalangan madzhab Ad-Zhahiri
 Daud Ad-Zhahiri: Diperbolehkan melihat seluruh tubuh wanita[4].  
 Ibnu Hazm: Seorang laki-laki tidak boleh melihat wanita kecuali  wajah dan telapak tangan mereka saja, akan tetapi dia boleh menyuruh wanita lain untuk melihat seluruh badan wanita yang ingin dinikahinya kemudian memberitahukan kepadanya.[5]
Dalil firman Allah Ta’ala
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ
Artinya: “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya. (QS. an-Nur: 30)  
Dari ayat di atas secara umum Allah mewajibkan menundukkan pandangan, sebagaimana Allah juga mewajiban menjaga kemaluan. Hal ini adalah umum dan tidak boleh dikhususkan kecuali ada nash yang mengkhususkan.
Telah terdapat nash yang mengkhususkan ayat di atas, yaitu perintah melihat wanita ketika laki-laki itu hendak menikahinya. Diriwatkan oleh Jabir bin Abdullah Rosulullah SAW bersabda:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا إِلَى بَعْضِ مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ (رواه أحمد و أبو داود)

 Dari Jabir bin Abdullah Rasulullah SAW bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian melamar wanita, lalu ia mampu melihat apa yang mendorongnya untuk menikahinya, maka lakukanlah.” (HR Ahmad dan Abu Daud).


KESIMPULAN
  Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa batasan aurat wanita ketika nazhar menurut madzhab zhahiri ada dua pendapat:
Menurut Daud: dibolehkan melihat seluruh tubuh wanita
Menurut Ibnu Hazm: hanya diperbolehkan melihat wajah dan telapak tangan. Akan tetapi diperbolehkan meminta kepada wanita lain untuk melihat seluruh tubuh wanita yang akan dikhitbahnya kemudian wanita tersebut menceritakan kepada laki-laki tersebut.
Wallahu a’lam....


DAFTAR PUSTAKA

Wazarah al-Auqaf wa asy-Syu’un al-Islamiyah, Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Kuwait: Darush Shafwah, 1994.
Syarkani, As-, Muhammad, bin Ali, Muhammad, Nailu Autor, Kairo: Darul Hadits, 2005.
Hazm, Ibnu-, Al-Muhalla bil Atsar, Bairut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2003.




[1] Wazarah al-Auqaf wa asy-Syu’un al-Islamiyah, Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, (Kuwait: Darush Shafwah, 1994), jld: 40, hlm: 340.
[2] Ibid. Jld: 31, hlm: 43
[3] Muhammad bin ali bin Muhammad As-Syarkani, Nailu Autor, (Kairo: Darul Hadits), jld 5-6, hlm: 496
[4] Ibid hlm: 497
[5] Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm, Al-Muhalla bil Atsar, (Darul Kutub Al-Ilmiyah, Bairut,tt) jld, 9. hlm, 161. 

Cinta Ayah

0 komentar
Allah... jangan halangi ayahku untuk mendapatkan surga....
Karena ayah tidak pernah menghalangiku untuk mendapatkan apapun di dunia ini....
Sayang Ayah

Selasa, 24 Februari 2015

Lagi.....

0 komentar
Apa filosofinya?

غيثاً صفياً

0 komentar

Rehat

0 komentar


"Bukan untuk menjadi yang pertama, tapi yang terbaik yang selalu dicari."
Fz. Author. At noon. 13 Dec 2012

http://kampusholic.blogspot.com/

Senin, 23 Februari 2015

Adakah Karma dalam Islam?

0 komentar

Dalam kitab Al-Farj Ba'da Asy-Syiddah karya At-Tanukhi diceritakan ada seorang menteri Baghdad yang merampas harta wanita tua. Seluruh hartanya diambil dengan paksa. Sang nenek menuntut haknya sambil menangis, tetapi wazir menolak untuk mengembalikan. Kemudian nenek itu mengancam, "Jika kamu tidak mengembalikan hartaku, aku akan memohonkan kesengsaraanmu kepada Allah U." Wazir tertawa dan mengejek, "Berdo'alah kepada Allah di sepertiga malam!" Setelah itu pergilah sang nenek meninggalkan wazir. Di sepertiga malam terakhir, nenek terus berdo'a. Tak lama berselang, menteri tersebut dipecat dan seluruh hartnya disita. Dia dihukum cambuk di tengah pasar. Ketika nenek lewat, dia berkata, "Engkau benar, kau telah menganjurkanku untuk berdo'a di sepertiga malam terakhir, dan ternyata waktu tersebut memang waktu terkabulnya do'a."
Cerita di atas mengingatkan kita pada hukum karma. Dalam Islam Allah U akan membalas setiap perbuatan hambaNya. Kebaikan akan dibalas dengan kebaikan dan keburukan akan dibalas dengan keburukan. Siapa yang menyebar angin, akan menuai badai. Siapa yang menepuk air dalam talam, akan terkena muka sendiri. Tetapi, adakah karma dalam Islam? Apakah boleh kita mempercayai adanya karma dalam Islam? Konsep apa yang sebenarnya Allah U gunakan untuk membalas perbuatan hambaNya?
Pengertian Karma
Dalam bahasa Sansekerta, arti karma adalah perbuatan. Menurut istilah, karma dapat dipahami sebagai hukum sebab akibat atau samsara. Konsep karma ada dalam agama Hindu, Sikh, dan Budha. Balasan atau buah dari sesuatu disebut karma-phala. Balasan ini juga berlaku untuk perbuatan baik. Tetapi konotasi istilah karma lebih dikenal, yaitu balasan untuk perbuatan buruk.
Dalam filosofi Jawa, Karma juga dikenal sebagai hukum sebab akibat. Sebuah peribahasa Jawa menyebutkan, "Ngunduh wohing pakarti." (Setiap orang akan memetik buah dari perbuatannya.) Maksudnya, perbuatan seseorang akan turut berperan aktif dalam kehidupannya di masa mendatang. Perbuatan baik akan menghasilkan buah yang baik. Perbuatan jahat pun akan dibalas sebagaimana mestinya.
Konsep Jaza' dalam Islam
            Seseorang yang memiliki kekuasaan akan lebih mudah untuk mendholimi orang lain. Padahal orang yang didholimi memiliki senjata ampun untuk mengalahkannya. Rasulullah r bersabda,
            وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُوْمِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ. رواه البخاري.
          "Hati-hatilah terhadap do'a orang yang terdholimi, karena tidak ada perantara di antara Allah dengannya." (H.R. Bukhori).
            Bagi yang belum merasakan balasan atas kedholimannya, jangan bersenang hati. Karena Allah U tidak akan melupakan perbuatan hambaNya. Mungkin Allah U hanya menangguhkan iqab sebentar saja. Dan di saat yang tidak disangka-sangka, Allah U akan membalasan sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukan. Allah U berfirman,
   
"Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak." (Q.S. Ibrahim:42).
                As-Sa'dy Rahimahullah menyatakan, "Ayat ini merupakan peringatan keras bagi orang yang mendholimi dan hiburan bagi orang yang terdholimi." Orang yang terdholimi  benar-benar akan mendapatkan keadilan dari Allah U. Jika Allah U belum menurunkan iqab sampai ajal orang yang mendholimi datang, maka tunggulah adzab Allah U di akhirat. Keadilan yang hakiki akan tegak. Orang yang dholim akan merasakan balasan dari kedholimannya. Dia akan kehilngan kebaikannya dan bertambah keburukannya. Rasulullah r menyebutnya sebagai muflis. Yaitu orang yang kesulitan untuk melunasi hutangnya.
                Rasulullah r pernah bertanya kepada para sahabat t, "Apakah kalian mengetahui siapa itu 'muflis'?" Mereka t menjawab, "Muflis di kalangan kami adalah orang yang tidak memiliki harta." Kemudian Rasulullah r bersabda, "'Muflis' di kalangan umatku datang pada hari kiamat dengan sholat, puasa, dan zakatnya. Dia juga datang dengan celaan kepada ini, tuduhan kepada ini, memakan harta ini, membunuh ini, dan memukul ini. Maka kebaikannya diberikan kepada orang-orang yang telah di dholiminya. Jika kebaikannya telah habis, maka keburukan orang-orang yang didholiminya akan dilimpahkan kepadanya. Kemudian dia dilemparkan ke neraka. (H.R. Muslim).
Konsep jaza' dalam Islam termasuk salah satu ajaran penting. Kama tadinu tudanu, Seperti apa pun kamu berbuat, seperti itu pula kamu akan diperlakukan. Perkataan di atas bukan sebuah hadits, tetapi nasehat dari Abu Darda' t yang diriwayatkan secara mauquf oleh Abu Qilabah.
البِرُّ لَا يَبْلَى وَ الذَّنْبُ لَا يُنْسَى وَ الدَّيَّانُ لَا يَمُوْتُ اِعْمَلْ مَا شِئْتَ كَمَا تَدِيْنُ تُدَان.ُ
”Kebaikan tidak akan pudar, dosa tidak akan dilupakan, Allah Yang Maha Membalas tidak akan mati. Berbuatlah sesukamu, karena seperti apa pun kamu berbuat, seperti itu pula kamu akan diperlakukan." (Jami'ul Ahadits, Jalaluddin Asy-Syuyuthy).
Demikianlah, istilah karma tidak dikenal dalam Islam. Dalam Islam kita mempercayai bahwa Allah U akan memberi pahala untuk perbuatan baik dan membalas perbuatan buruk. Balasan Allah U bisa saja didapatkan di dunia, di akhirat, atau di dunia dan di akhirat.
            "Sesungguhnya balasan keburukan adalah keburukan setelahnya, sebagaimana balasan kebaikan adalah kebaikan setelahnya." (Tafsir Ibnu Katsir).
            Walalhu a'lam. Allahuma inna na'uzu bika min an nadhlima au yudhlama.

15 Juni 2014

0 komentar


Berpasangan Engkau Telah di Ciptakan,
Dan Selamanya Engkau Akan Berpasanagan,
Bersamalah Dikau Tatkala sang Maut merenggut Umurmu..

Ya, Bahkan bersama pula Kalian,
Dalam Ingatan Sunyi Tuhan.
Namun biarkanlah ada ruang antara kebersamaan itu,
Tempat angin surga menari-nari di antaramu.

Berkasih-kasihlah, Namun jangan membelenggu Cinta
Biarkanlah Cinta itu bergerak senantiasa
Seperti Aliran sungai yang mengalir Lincah di antar kedua Belahan Jiwa

Saling isilah Piala Minumanmu,
Tapi jangan saling minum dari satu Piala,
Saling bagilah Rotimu,
Tapi jangan makan dari Pinggan yang sama

Bernyanyi dan Menarilah bersama,
dalam segala suka cita
Hanya biarkanlah masing-masing
Menghayati ketunggalanya,

Tali Rebana masing-masing punya hidup sendiri,
Walau Lagu Yang sama sedang menggetarkanya
Biarkanlah Hatimu,
Namun jangan saling Menguasakanya,

Sebab hanya Tuhan Kehidupan Yang Mempu Menggapainya
Tegaklah Berjajar, Namun janganlah terlalu Dekat
Bukankah Tiang-tiang Candi Tidak di Bangun Terlalu Rapat.??
Dan Pohon Jati dan Pohon Cemara,
TIdak Tumbuh dalam Bayangan Satu dengan Yang lainya.
***


Kado Pengantin Seorang Personal Nihaiyyah Selvent
(15 Juni 2014)


Kedudukan dan Akibat Hukum Anak Hasil Pernikahan Sedarah Menurut Undang-undang Positif (3.1.1)

0 komentar
Pernikahan akan berhenti menimbulkan akibat-akibat hukum perdata terhitung sejak hari pernikahan itu dinyatakan batal, namun hal ini hanya berlaku untuk suami dan istri yang dipisahkan.[1] Dalam Pasal 95 dan 96 KUH Per dinyatakan bahwa akibat-akibat hukum yang muncul sebelum pernikahan dibatalkan masih diakui, baik tehadap suami istri maupun terhadap anak-anak mereka, selama pernikahan itu dilangsungkan dengan iktikad baik oleh kedua suami istri itu. Bila iktikad baik hanya ada pada salah satu di antara suami istri, maka pernikahan itu hanya mempunyai akibat perdata yang menguntungkan pihak yang beriktikad baik dan bagi anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut.[2]
Dalam UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 28 Ayat 2 dinyatakan bahwa, "Keputusan tidak berlaku surut terhadap:
a.       Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
b.      Suami atau istri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;
c.       Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap."
Dalam Pasal 75 dan 76 KHI juga disebutkan bahwa, "Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:
a.       Perkawinan yang batal karena salah satu suami atau istri murtad;
b.      Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
c.       Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan ber’itikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orangtuanya."[3]
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa akibat dari batalnya pernikahan tidak berlaku bagi anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut. Jadi, status anak akibat pembatalan pernikahan adalah anak sah. Ketika anak tersebut dianggap sebagai anak sah, maka ia akan mendapatkan hubungan keperdataan baik dengan pihak ibu maupun pihak ayah.[4]


[1] Diatur dalam Pasal 97 KUH Per dan Pasal 28 Ayat 1 UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lihat Soedharyo Soimin, op.cit, p. 24.
[2] Ibid, p. 23-24.
[3] Himpunan Peraturan Perundang-undangan, op.cit, p. 160-161.
[4] Tertera pada Pasal 250 KUH Per, Pasal 42 UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 99 huruf a KHI. Lihat Soedharyo Soimin, op.cit, p. 61 dan Himpunan Peraturan Perundang-undangan, op.cit, p. 167.

Minggu, 22 Februari 2015

Al-Istihdad

0 komentar


Sesungguhnya agama Islam adalah agama yang sempurna dan telah mengatur berbagai macam perkara yang akan mendatangkan kebaikan bagi tiap hambanya. Di antaranya, agama ini telah mengajarkan kepada umatnya mengenai sunah-sunah fitrah. Sunah-sunah ini merupakan kebiasaan yang sudah dilakukan oleh orang-orang terdahulu. Allah U tabiatkan pada manusia untuk melakukannya, cenderung kepadanya, menganggapnya sebagai suatu hal yang indah, dan meninggalkannya berarti telah bertolak belakang dengan fitrah manusia atau dapat dikatakan sebagai manusia tidak normal.
Salah satu dari sunnah-sunnah fitroh yang disyari'atkan adalah Al-Istihdad (mencukur bulu kemaluan). Menurut Prof. Dr. dr. Nukman Moeloek, Sp. And, rambut kemaluan yang tidak dicukur memang berisiko sebagai tempat berkembangnya bakteri. Oleh karena itu rambut kemaluan perlu dicukur. Demikianlah agama Islam, tiap syari'atnya mendatangkan mashlahat bagi umatnya.
Pengertian
Al-istihdad adalah menghilangkan bulu kemaluan, dinamakan al-istihdad (berasal dari akar kata al-hadid yang berarti sesuatu yang tajam atau besi) karena dalam hal ini digunakan sesuatu yang tajam seperti pisau cukur. Al-Istihdad dapat dilakukan dengan mencukur, menggunting, mencabut, atau dengan obat penghilang bulu. Tetapi menurut Imam Nawawi yang paling afdhol adalah dengan mencukurnya.[1]
Ibnu Hajar Al-'Asqolany menyatakan bahwa yang dimaksud dengan al-istihdad adalah menghilangkan rambut. Dinamakan al-istihdad karena biasanya seseorang menghilangkang rambut menggunakan sesuatu yang tajam, tetapi sebenarnya tidak ada larangan untuk menggunakan alat lain.[2]
Sedangkan menurut Ali, yang diriwayatkan dari Abu 'Ubaid, al-istihdad adalah menghilangkan bulu kemaluan dengan cara mencukurnya. Ali mendefinisikan al-istihdad dengan mencukur saja karena dahulu belum dikenal obat penghilang bulu.[3]
Sedangkan makna al-'anaah menurut Imam Nawawi adalah rambut di atas kemaluan laki-laki dan sekitarnya. Begitu juga dengan rambut disekitar kemaluan wanita, baik yang perawan maupun yang janda.[4] Abu Abbas bin Suraij menambahkan bahwa rambut yang tumbuh di sekitar lingkar dubur. Dari pengertian ini Imam Nawawi menyimpulkan bahwa yang disyari'atkan adalah mencukur seluruh rambut di sekitar qubul dan dubur.
Menurut Imam Asy-Syaukany, jika al-istihdad didefinisikan sebagai halqu al-'anaah sebagaimana pendapat Imam Nawawi, maka tidak ada dalil atas sunnahnya mencukur rambut yang tumbuh disekitar dubur. Tetapi bila yang diperselisihkan adalah makna al-hadid sebagaimana dalam kamus maka makna al-istihdad akan lebih dari luas mencukur bulu kemaluan. Sayangnya, dalam hadits riwayat Muslim lafadz al-istihdad berganti dengan halqu al-'anaah. Sehingga hanya ada satu dalil bagi kesunnahan mencukur rambut yang tumbuh di sekitar dubur. Selain itu Imam Asy-Syaukany juga tidak mendapatkan bahwa mencukur rambut yang tumbuh di sekitar dubur termasuk dari perbuatan Nabi r atau pun salah satu sahabatnya.[5]
Hukum dan Dalil Disyari'atkannya
Menurut kebanyakan ulama', hukum mencukur bulu kemaluan adalah sunnah[6] berdasarkan sabda Rasulullah r,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : خَمْسٌ مِنَ الفِطْرَةِ ، الاِسْتِحْدَادُ ، وَالخِتَانُ ، وَقَصُّ الشَّارِبِ ، وَنَتْفُ الإِبْطِ ، وَتَقْلِيمُ الأَظْفَارِ. رواه متفق عليه
Dari Abu Hurairah t, Rasulullah r bersabda, “Lima hal yang termasuk sunnah fitrah: Mencukur bulu kemaluan, berkhitan, memendekkan kumis, mencabut bulu ketiak dan memotong kuku.” (Muttafaqun Alaih)

عَنْ عَائِشَةَ ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ ، قَصُّ الشَّارِبِ ، وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ ، وَالسِّوَاكُ ، وَالاِسْتِنْشَاقُ ، وَقَصُّ الأَظْفَارِ ، وَغَسْلُ البَرَاجِمِ ، وَنَتْفُ الإِبِطِ ، وَحَلْقُ العَانَةِ ، وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ قَالَ زَكَرِيَّا : قَالَ مُصْعَبٌ : وَنَسِيتُ الْعَاشِرَةَ ، إِلاَّ أَنْ تَكُونَ الْمَضْمَضَةَ. رواه مسلم و أحمد و أصحاب السنن الأربعة
Dari A’isyah t, bahwa Nabi r bersabda, “Ada sepuluh hal dari fitrah (manusia); Memangkas kumis, memelihara jenggot, bersiwak, istinsyaq (menghirup air ke dalam hidung), potong kuku, membersihkan ruas jari-jemari, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, dan istinjak (cebok) dengan air. Zakariyya berkata, "Mush'ab berkata, 'Aku lupa yang kesepuluh, mungkin berkumur-kumur.' " (H.R. Muslim, Ahmad, dan Ashab As-Sunan)
Imam Nawawi dan yang lainnya menyatakan, "Disunnahkan untuk menghilangkan al-'anaah dengan mencukurnya menggunakan silet atau pisau cukur baik bagi laki-laki maupun perempuan. Karena hukum asalnya hanya menghilangkan, maka diperbolehkan untuk menggunakan alat apa pun." [7]
Menurut Syafi'iyyah dan Malikiyyah, hukum mencukur al-'anaah bagi perempuan dapat menjadi wajib jika suami memintanya.[8]
            Cara dan Adab Al-Istihdad
Imam As-Syaukany membawakan perkataan Imam Nawawi bahwa al-istihdad dapat dilakukan dengan mencukur, menggunting, mencabut, dan menggunakan obat perontok. Tetapi yang paling afdhol adalah mencukurnya sesuai dengan matan hadits.[9]
Para fuqoha' memiliki pendapat yang berbeda-beda dalam menentukan cara al-istihdad. Hanafiyyah berpendapat bahwa disunnahkan mencukurnya bagi laki-laki dan mencabutnya bagi wanita. Sedangkan Malikiyyah memakruhkan mencabut al-'anaah bagi wanita karena termasuk tanammus (mencabut) yang dilarang. Sebagian Syafi'iyyah juga berpendapat seperti ini. Tetapi sebagian besar Syafi'iyyah menyatakan bahwa mencabut diperuntukkan bagi pemudi, dan mencukurnya bagi yang sudah tua. Pendapat ini dinisbatkan kepada Ibnul 'Araby. Terakhir, Hanafiyyah memperbolehkan al-istihdad dengan cara apa pun, tetapi yang paling afdhol adalah mencukurnya.
Mengenai adabnya, disunnahkan memulai halqu al-'anaah dari bawah pusar, kemudian bagian yang kanan baru selanjutnya bagian kiri. Disunnahkan pula untuk bersatir ketika al-istihdad dan tidak diperbolehkan membuang rambutnya di kamar mandi atau ke air. Menurut Imam Nawawi, rambut yang telah dicukur hendaknya dikuburkan karena termasuk bagian dari manusia seperti rambut kepala dan kuku. Demikian pula yang dinyatakan oleh Ibnu Hajar.
Hal ini berdasarkan atsar dari Ibnu Umar t. Imam Ahmad pernah ditanya, "Bagaimana bila seseorang mencukur rambutnya? Apakah nanti rambutnya dibuang atau dikubur?" Beliau menjawab, "Dikubur, karena Ibnu Umar t menguburnya." [10]
 Sebagian ulama menganjurkan agar seseorang menguburkan rambut, kuku, atau gigi yang sudah tanggal. Mereka menyebutkan atsar Ibnu Umar t berkenaan dengan hal itu. Tidak dapat disangkal lagi tentunya bahwa perbuatan seorang sahabat lebih utama untuk diikuti ketimbang perbuatan orang selainnya.[11]
Disunnahkan untuk tayammun (mendahulukan yang kanan) dalam al-istihdad berdasarkan hadits berikut,
عنْ عائشةَ رَضِيَ اللَّهُ عنهَا قَالتْ: كانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ في تَنَعُّلِهِ، وَتَرَجُّلِهِ، وَطُهُورِهِ، وَفي شَأْنِهِ كُلِّهِ. رواه البخاري و مسلم
'Aisyah t berkata, "Rasulullah r menyukai tayammun (mendahulukan yang kanan) dalam memakai sandal, menyisir rambut, dan ketika bersuci serta pada setiap perkara." (H.R. Bukhori dan Muslim) [12]

Waktu Al-Istihdad    
Disunnahkan untuk istihdad, mencabut bulu ketiak, memotong kuku dan kumis setiap minggu demi menjaga kebersihan dan kenyamanan. Diperbolehkan untuk menangguhkannya hingga 40 hari, tetapi setelah itu tidak ada udzur lagi.[13] Berdasarkan hadits Anas bin Malik t,
وُقِّتَ لَنَا فِي قَصِّ الشَّارِبِ وَتَقلِيمِ الأَظفَارِ ونَتفِ الإِبطِ وحَلقِ العَانَةِ أَن لَا نَترُكُ أَكثَرَ مِن أَربَعِينَ لَيلَةً. رواه مسلم.
“Rasulullah r memberikan batasan waktu kepada kami untuk memotong kumis, memotong kuku, mencabuti bulu ketiak, dan mencukur bulu kemaluan, agar tidak dibiarkan lebih dari empat puluh hari.” (H.R. Muslim)
Menurut hadits di atas, meninggalkan al-istihdad dan lain-lain lebih dari 40 hari hukumnya makruh. Jangka waktu pelaksanaan al-istihdad dikembalikan pada keadaan, personal, masa, dan tempat selama tidak lebih dari 40 hari.[14] Tetapi bukan berarti hadits ini memboleh seseorang menangguhkan ­al-istihdad sampai 40 hari secara muthlak. Jika sekiranya al-istihdad diperlukan sebelum 40 hari, maka hendaknya segera dilaksanakan. Karena hukum itu berlaku sebab adanya 'illah (alasan). [15]
Dalam Al-Fatawa Al-Hindiyah Fi Fiqh Al-Hanafiyyah disebutkan bahwa memotong kuku, merapikan kumis, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, dan membersihkan badan yang paling afdhol adalah seminggu sekali. Jika tidak bisa seminggu sekali maka tiap lima belas hari. Dan batas maksimalnya adalah 40 hari.[16]
Al-'Alamah Al-Bahuty Al-Hanbaly berkata, "Merapikan kumis, memotong kuku, al-istihdad, dan mencabut bulu ketiak dilaksanakan pada hari jum'at sebelum sholat jum'at atau pada hari kamis (dapat dipilih).[17] Imam Nawawi juga menganjurkan untuk beristihdad pada hari jum'at.[18]
Hikmah Al-Istihdad
Setiap syari'at Islam, baik yang perintah maupun larangan adalah mashlahat bagi pelaksananya. Sedangkan mashlahat yang paling nampak syari'at sunnah-sunnah fitrah adalah menjaga kebersihan dan keindahan. Al-Istihdad sendiri salah satu tujuannya adalah menghilangkan kotoran dari keringat yang mengalir turun dari perut.[19]
Fatwa-Fatwa yang Berkaitan dengan Al-Istihdad
Lajnah Daimah Li Al-Ifta' pernah ditanya, "Haruskan seorang wanita mencukur bulu kemaluannya tiap selesai haidh?" Jawabannya, mencukur bulu kemaluan memang termasuk sunnah fitrah. Tetapi tidak diharuskan bagi wanita untuk mencukurnya tiap selesai haidh karena tidak ada keterangan mengenai hal tersebut. Yang ada hanya batas maksimalnya, yaitu 40 hari berdasarkan hadits yang telah disebutkan sebelum ini.[20]
Untuk pelaksanaan al-istihdad, hendaknya dilakukan sendiri. Tetapi diperbolehkan bagi suami atau istri untuk saling beristihdad. Bagi yang selainnya, maka hukumnya haram.[21] Hanyasaja jika keadaan darurat seperti sakit, maka boleh memperlihatkan auratnya pada yang lain.[22]







[1] . Nailul Author, Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukany, juz:1, hal:128
[2] . Ittihaf Al-Kiram Bi Syarhi Umdah Al-Ahkam, Syaikh Abdur Rahman As-Sahim, juz:43, hal:3

[3] . Al-Ausath Fi As-Sunan Wa Al-'Ijma' Wa Al-Ikhtilaf, Abu Bakar Muhammad bin Ibrahim bin Al-Mundzir An-Naisabury, hal:238
[4] . Tamam Al-Minnah, Abu Abdur Rahman Adil bin Yusuf Al-Ghazzazy, juz:1, hal:64
[5]. Nailul Author, Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukany, juz:1, hal:128
[6]. Tamam Al-Minnah, Abu Abdur Rahman Adil bin Yusuf Al-Ghazzazy, juz:1, hal:58
[7] . Al-Mufashol, Dr. Abdul Karim Zaidan, juz:1, hal:59-60
[8] . Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Wazarah Al-Auqof Wa As-Su'un Al-Islamiyyah Kuwait, juz:3, hal:216
[9]. Nailul Author, Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukany, juz:1, hal:128
[10] . Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Wazarah Al-Auqof Wa As-Su'un Al-Islamiyyah Kuwait, juz:3, hal:217-218
[11] . Ad-Da'wah, Syaikh Ibnu Utsaimin, juz:2, hal:79
[12] . Tanbih Al-Afham Syarhu 'Umdah Al-Ahkam, Muhammad bin Sholih Al-'Utsaimin, juz:1, hal:33-34
[13] .Fiqh As-Sunnah, Sayyid Sabiq, juz:1, hal:36
[14] . Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Wazarah Al-Auqof Wa As-Su'un Al-Islamiyyah Kuwait, juz:3, hal:217
[15] . Syarh Az-Zad, Al-Hamad, juz:20, hal:146
[16] . Al-Mufashol, Dr. Abdul Karim Zaidan, juz:1, hal:56
[17] . Al-Islam, Al-Qism Al-'Araby Min Mauqi', juz:5, hal:474
[18] . http://www.islamweb.net/fatwa/
[19] . Tanbih Al-Afham Syarhu 'Umdah Al-Ahkam, Muhammad bin Sholih Al-'Utsaimin, juz:1, hal:76
[20] . Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Lajnah Daimah Li Al-Ifta', juz:3, hal:124-125
[21] . Al-Mufashol, Dr. Abdul Karim Zaidan, juz:1, hal:60
[22] . http://www.islamweb.net/fatwa/
 
Copyright © Najma Mujaddid
Blogger Theme by BloggerThemes | Theme designed by Jakothan Sponsored by Internet Entrepreneur