Minggu, 22 Februari 2015

Al-Istihdad



Sesungguhnya agama Islam adalah agama yang sempurna dan telah mengatur berbagai macam perkara yang akan mendatangkan kebaikan bagi tiap hambanya. Di antaranya, agama ini telah mengajarkan kepada umatnya mengenai sunah-sunah fitrah. Sunah-sunah ini merupakan kebiasaan yang sudah dilakukan oleh orang-orang terdahulu. Allah U tabiatkan pada manusia untuk melakukannya, cenderung kepadanya, menganggapnya sebagai suatu hal yang indah, dan meninggalkannya berarti telah bertolak belakang dengan fitrah manusia atau dapat dikatakan sebagai manusia tidak normal.
Salah satu dari sunnah-sunnah fitroh yang disyari'atkan adalah Al-Istihdad (mencukur bulu kemaluan). Menurut Prof. Dr. dr. Nukman Moeloek, Sp. And, rambut kemaluan yang tidak dicukur memang berisiko sebagai tempat berkembangnya bakteri. Oleh karena itu rambut kemaluan perlu dicukur. Demikianlah agama Islam, tiap syari'atnya mendatangkan mashlahat bagi umatnya.
Pengertian
Al-istihdad adalah menghilangkan bulu kemaluan, dinamakan al-istihdad (berasal dari akar kata al-hadid yang berarti sesuatu yang tajam atau besi) karena dalam hal ini digunakan sesuatu yang tajam seperti pisau cukur. Al-Istihdad dapat dilakukan dengan mencukur, menggunting, mencabut, atau dengan obat penghilang bulu. Tetapi menurut Imam Nawawi yang paling afdhol adalah dengan mencukurnya.[1]
Ibnu Hajar Al-'Asqolany menyatakan bahwa yang dimaksud dengan al-istihdad adalah menghilangkan rambut. Dinamakan al-istihdad karena biasanya seseorang menghilangkang rambut menggunakan sesuatu yang tajam, tetapi sebenarnya tidak ada larangan untuk menggunakan alat lain.[2]
Sedangkan menurut Ali, yang diriwayatkan dari Abu 'Ubaid, al-istihdad adalah menghilangkan bulu kemaluan dengan cara mencukurnya. Ali mendefinisikan al-istihdad dengan mencukur saja karena dahulu belum dikenal obat penghilang bulu.[3]
Sedangkan makna al-'anaah menurut Imam Nawawi adalah rambut di atas kemaluan laki-laki dan sekitarnya. Begitu juga dengan rambut disekitar kemaluan wanita, baik yang perawan maupun yang janda.[4] Abu Abbas bin Suraij menambahkan bahwa rambut yang tumbuh di sekitar lingkar dubur. Dari pengertian ini Imam Nawawi menyimpulkan bahwa yang disyari'atkan adalah mencukur seluruh rambut di sekitar qubul dan dubur.
Menurut Imam Asy-Syaukany, jika al-istihdad didefinisikan sebagai halqu al-'anaah sebagaimana pendapat Imam Nawawi, maka tidak ada dalil atas sunnahnya mencukur rambut yang tumbuh disekitar dubur. Tetapi bila yang diperselisihkan adalah makna al-hadid sebagaimana dalam kamus maka makna al-istihdad akan lebih dari luas mencukur bulu kemaluan. Sayangnya, dalam hadits riwayat Muslim lafadz al-istihdad berganti dengan halqu al-'anaah. Sehingga hanya ada satu dalil bagi kesunnahan mencukur rambut yang tumbuh di sekitar dubur. Selain itu Imam Asy-Syaukany juga tidak mendapatkan bahwa mencukur rambut yang tumbuh di sekitar dubur termasuk dari perbuatan Nabi r atau pun salah satu sahabatnya.[5]
Hukum dan Dalil Disyari'atkannya
Menurut kebanyakan ulama', hukum mencukur bulu kemaluan adalah sunnah[6] berdasarkan sabda Rasulullah r,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : خَمْسٌ مِنَ الفِطْرَةِ ، الاِسْتِحْدَادُ ، وَالخِتَانُ ، وَقَصُّ الشَّارِبِ ، وَنَتْفُ الإِبْطِ ، وَتَقْلِيمُ الأَظْفَارِ. رواه متفق عليه
Dari Abu Hurairah t, Rasulullah r bersabda, “Lima hal yang termasuk sunnah fitrah: Mencukur bulu kemaluan, berkhitan, memendekkan kumis, mencabut bulu ketiak dan memotong kuku.” (Muttafaqun Alaih)

عَنْ عَائِشَةَ ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ ، قَصُّ الشَّارِبِ ، وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ ، وَالسِّوَاكُ ، وَالاِسْتِنْشَاقُ ، وَقَصُّ الأَظْفَارِ ، وَغَسْلُ البَرَاجِمِ ، وَنَتْفُ الإِبِطِ ، وَحَلْقُ العَانَةِ ، وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ قَالَ زَكَرِيَّا : قَالَ مُصْعَبٌ : وَنَسِيتُ الْعَاشِرَةَ ، إِلاَّ أَنْ تَكُونَ الْمَضْمَضَةَ. رواه مسلم و أحمد و أصحاب السنن الأربعة
Dari A’isyah t, bahwa Nabi r bersabda, “Ada sepuluh hal dari fitrah (manusia); Memangkas kumis, memelihara jenggot, bersiwak, istinsyaq (menghirup air ke dalam hidung), potong kuku, membersihkan ruas jari-jemari, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, dan istinjak (cebok) dengan air. Zakariyya berkata, "Mush'ab berkata, 'Aku lupa yang kesepuluh, mungkin berkumur-kumur.' " (H.R. Muslim, Ahmad, dan Ashab As-Sunan)
Imam Nawawi dan yang lainnya menyatakan, "Disunnahkan untuk menghilangkan al-'anaah dengan mencukurnya menggunakan silet atau pisau cukur baik bagi laki-laki maupun perempuan. Karena hukum asalnya hanya menghilangkan, maka diperbolehkan untuk menggunakan alat apa pun." [7]
Menurut Syafi'iyyah dan Malikiyyah, hukum mencukur al-'anaah bagi perempuan dapat menjadi wajib jika suami memintanya.[8]
            Cara dan Adab Al-Istihdad
Imam As-Syaukany membawakan perkataan Imam Nawawi bahwa al-istihdad dapat dilakukan dengan mencukur, menggunting, mencabut, dan menggunakan obat perontok. Tetapi yang paling afdhol adalah mencukurnya sesuai dengan matan hadits.[9]
Para fuqoha' memiliki pendapat yang berbeda-beda dalam menentukan cara al-istihdad. Hanafiyyah berpendapat bahwa disunnahkan mencukurnya bagi laki-laki dan mencabutnya bagi wanita. Sedangkan Malikiyyah memakruhkan mencabut al-'anaah bagi wanita karena termasuk tanammus (mencabut) yang dilarang. Sebagian Syafi'iyyah juga berpendapat seperti ini. Tetapi sebagian besar Syafi'iyyah menyatakan bahwa mencabut diperuntukkan bagi pemudi, dan mencukurnya bagi yang sudah tua. Pendapat ini dinisbatkan kepada Ibnul 'Araby. Terakhir, Hanafiyyah memperbolehkan al-istihdad dengan cara apa pun, tetapi yang paling afdhol adalah mencukurnya.
Mengenai adabnya, disunnahkan memulai halqu al-'anaah dari bawah pusar, kemudian bagian yang kanan baru selanjutnya bagian kiri. Disunnahkan pula untuk bersatir ketika al-istihdad dan tidak diperbolehkan membuang rambutnya di kamar mandi atau ke air. Menurut Imam Nawawi, rambut yang telah dicukur hendaknya dikuburkan karena termasuk bagian dari manusia seperti rambut kepala dan kuku. Demikian pula yang dinyatakan oleh Ibnu Hajar.
Hal ini berdasarkan atsar dari Ibnu Umar t. Imam Ahmad pernah ditanya, "Bagaimana bila seseorang mencukur rambutnya? Apakah nanti rambutnya dibuang atau dikubur?" Beliau menjawab, "Dikubur, karena Ibnu Umar t menguburnya." [10]
 Sebagian ulama menganjurkan agar seseorang menguburkan rambut, kuku, atau gigi yang sudah tanggal. Mereka menyebutkan atsar Ibnu Umar t berkenaan dengan hal itu. Tidak dapat disangkal lagi tentunya bahwa perbuatan seorang sahabat lebih utama untuk diikuti ketimbang perbuatan orang selainnya.[11]
Disunnahkan untuk tayammun (mendahulukan yang kanan) dalam al-istihdad berdasarkan hadits berikut,
عنْ عائشةَ رَضِيَ اللَّهُ عنهَا قَالتْ: كانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ في تَنَعُّلِهِ، وَتَرَجُّلِهِ، وَطُهُورِهِ، وَفي شَأْنِهِ كُلِّهِ. رواه البخاري و مسلم
'Aisyah t berkata, "Rasulullah r menyukai tayammun (mendahulukan yang kanan) dalam memakai sandal, menyisir rambut, dan ketika bersuci serta pada setiap perkara." (H.R. Bukhori dan Muslim) [12]

Waktu Al-Istihdad    
Disunnahkan untuk istihdad, mencabut bulu ketiak, memotong kuku dan kumis setiap minggu demi menjaga kebersihan dan kenyamanan. Diperbolehkan untuk menangguhkannya hingga 40 hari, tetapi setelah itu tidak ada udzur lagi.[13] Berdasarkan hadits Anas bin Malik t,
وُقِّتَ لَنَا فِي قَصِّ الشَّارِبِ وَتَقلِيمِ الأَظفَارِ ونَتفِ الإِبطِ وحَلقِ العَانَةِ أَن لَا نَترُكُ أَكثَرَ مِن أَربَعِينَ لَيلَةً. رواه مسلم.
“Rasulullah r memberikan batasan waktu kepada kami untuk memotong kumis, memotong kuku, mencabuti bulu ketiak, dan mencukur bulu kemaluan, agar tidak dibiarkan lebih dari empat puluh hari.” (H.R. Muslim)
Menurut hadits di atas, meninggalkan al-istihdad dan lain-lain lebih dari 40 hari hukumnya makruh. Jangka waktu pelaksanaan al-istihdad dikembalikan pada keadaan, personal, masa, dan tempat selama tidak lebih dari 40 hari.[14] Tetapi bukan berarti hadits ini memboleh seseorang menangguhkan ­al-istihdad sampai 40 hari secara muthlak. Jika sekiranya al-istihdad diperlukan sebelum 40 hari, maka hendaknya segera dilaksanakan. Karena hukum itu berlaku sebab adanya 'illah (alasan). [15]
Dalam Al-Fatawa Al-Hindiyah Fi Fiqh Al-Hanafiyyah disebutkan bahwa memotong kuku, merapikan kumis, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, dan membersihkan badan yang paling afdhol adalah seminggu sekali. Jika tidak bisa seminggu sekali maka tiap lima belas hari. Dan batas maksimalnya adalah 40 hari.[16]
Al-'Alamah Al-Bahuty Al-Hanbaly berkata, "Merapikan kumis, memotong kuku, al-istihdad, dan mencabut bulu ketiak dilaksanakan pada hari jum'at sebelum sholat jum'at atau pada hari kamis (dapat dipilih).[17] Imam Nawawi juga menganjurkan untuk beristihdad pada hari jum'at.[18]
Hikmah Al-Istihdad
Setiap syari'at Islam, baik yang perintah maupun larangan adalah mashlahat bagi pelaksananya. Sedangkan mashlahat yang paling nampak syari'at sunnah-sunnah fitrah adalah menjaga kebersihan dan keindahan. Al-Istihdad sendiri salah satu tujuannya adalah menghilangkan kotoran dari keringat yang mengalir turun dari perut.[19]
Fatwa-Fatwa yang Berkaitan dengan Al-Istihdad
Lajnah Daimah Li Al-Ifta' pernah ditanya, "Haruskan seorang wanita mencukur bulu kemaluannya tiap selesai haidh?" Jawabannya, mencukur bulu kemaluan memang termasuk sunnah fitrah. Tetapi tidak diharuskan bagi wanita untuk mencukurnya tiap selesai haidh karena tidak ada keterangan mengenai hal tersebut. Yang ada hanya batas maksimalnya, yaitu 40 hari berdasarkan hadits yang telah disebutkan sebelum ini.[20]
Untuk pelaksanaan al-istihdad, hendaknya dilakukan sendiri. Tetapi diperbolehkan bagi suami atau istri untuk saling beristihdad. Bagi yang selainnya, maka hukumnya haram.[21] Hanyasaja jika keadaan darurat seperti sakit, maka boleh memperlihatkan auratnya pada yang lain.[22]







[1] . Nailul Author, Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukany, juz:1, hal:128
[2] . Ittihaf Al-Kiram Bi Syarhi Umdah Al-Ahkam, Syaikh Abdur Rahman As-Sahim, juz:43, hal:3

[3] . Al-Ausath Fi As-Sunan Wa Al-'Ijma' Wa Al-Ikhtilaf, Abu Bakar Muhammad bin Ibrahim bin Al-Mundzir An-Naisabury, hal:238
[4] . Tamam Al-Minnah, Abu Abdur Rahman Adil bin Yusuf Al-Ghazzazy, juz:1, hal:64
[5]. Nailul Author, Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukany, juz:1, hal:128
[6]. Tamam Al-Minnah, Abu Abdur Rahman Adil bin Yusuf Al-Ghazzazy, juz:1, hal:58
[7] . Al-Mufashol, Dr. Abdul Karim Zaidan, juz:1, hal:59-60
[8] . Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Wazarah Al-Auqof Wa As-Su'un Al-Islamiyyah Kuwait, juz:3, hal:216
[9]. Nailul Author, Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukany, juz:1, hal:128
[10] . Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Wazarah Al-Auqof Wa As-Su'un Al-Islamiyyah Kuwait, juz:3, hal:217-218
[11] . Ad-Da'wah, Syaikh Ibnu Utsaimin, juz:2, hal:79
[12] . Tanbih Al-Afham Syarhu 'Umdah Al-Ahkam, Muhammad bin Sholih Al-'Utsaimin, juz:1, hal:33-34
[13] .Fiqh As-Sunnah, Sayyid Sabiq, juz:1, hal:36
[14] . Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Wazarah Al-Auqof Wa As-Su'un Al-Islamiyyah Kuwait, juz:3, hal:217
[15] . Syarh Az-Zad, Al-Hamad, juz:20, hal:146
[16] . Al-Mufashol, Dr. Abdul Karim Zaidan, juz:1, hal:56
[17] . Al-Islam, Al-Qism Al-'Araby Min Mauqi', juz:5, hal:474
[18] . http://www.islamweb.net/fatwa/
[19] . Tanbih Al-Afham Syarhu 'Umdah Al-Ahkam, Muhammad bin Sholih Al-'Utsaimin, juz:1, hal:76
[20] . Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Lajnah Daimah Li Al-Ifta', juz:3, hal:124-125
[21] . Al-Mufashol, Dr. Abdul Karim Zaidan, juz:1, hal:60
[22] . http://www.islamweb.net/fatwa/

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © Najma Mujaddid
Blogger Theme by BloggerThemes | Theme designed by Jakothan Sponsored by Internet Entrepreneur