Sabtu, 14 Februari 2015

Mengapa Ibu Pergi?



Di antara perintah Allah kepada perempuan muslimah adalah perintah untuk tinggal dan menetap di rumah. Sebuah perintah yang banyak mengandung hikmah dan mashlahat. Tidak hanya bagi perempuan itu sendiri, namun juga mengandung mashlahat bagi yang lain.
Perintah untuk menetap di rumah ini datang dari Dzat Yang Maha Memiliki Hikmah. Ketika Allah menetapkan perempuan harus tinggal di rumah, Allah  sama sekali tidak berbuat zhalim kepada mereka, bahkan ketetapan itu sebagai tanda kasih sayang Allah terhadap perempuan.
Fithrah Ibu Untuk Tinggal di Rumah
Kisah di bawah ini diceritakan oleh Syaikh Abdurrahman, seorang dokter muslim laki-laki yang hidup di Prancis. Ia memiliki seorang rekan kerja perempuan berkebangsaan Prancis. Suatu hari, rekan kerja Syaikh Abdurrahman menanyakan keadaan istrinya, seorang muslimah yang menghabiskan hari-harinya di dalam rumah.
Sang dokter menjawab, "Ketika istriku bangun di pagi hari, ia menyiapkan berbagai keperluan yang dibutuhkan anak-anak di sekolah. Kemudian ia membersihkan dan mengatur hal-hal lain yang dibutuhkan di dalam rumah. Setelah urusan bersih-bersih selesai, maka ia sibuk dengan urusan dapur dan menyiapkan makanan."
Dengan penuh keheranan rekan kerjanya bertanya, "Siapa yang memenuhi kebutuhannya padahal ia tidak bekerja?"
"Saya."
"Lalu siapakah yang membelikan kebutuhannya?"
"Saya yang membelikan semua yang ia inginkan."
"Engkau yang membelikan segala sesuatu untuk istrimu?!"
"Ya."
"Sampai-sampai urusan perhiasan emas?!"
"Ya."
"Sungguh istrimu adalah seorang permaisuri," komentar akhir perempuan tadi.
Perempuan memang seorang permaisuri dan rumahnya adalah istananya. Ia tidak perlu keluar rumah untuk mencari nafkah, karena dalam Islam tugas mencari nafkah dibebankan pada suami. Bukankah Rasulullah r pernah bersabda, "Dan hak para istri atas kalian (suami) agar kalian memberi mereka nafkah dan pakaian dengan cara yang ma'ruf." (H.R. Muslim)
Tanggung Jawab Terbesar Ibu
Ketika ibu diperintahkan untuk tetap tinggal di rumah, bukan berarti ia lepas dari tanggung jawab. Ada tugas besar yang menanti, yaitu menjadi madrasah (sekolah) pertama bagi anak-anaknya. Minimnya perhatian dan kelembutan ibu yang waktunya tersita oleh aktifitas di luar rumah, sangat berpengaruh besar pada perkembangan jiwa dan pendidikan anak.
Suatu penelitian yang dilakukan Bio-medical Library di Universitas Minnesota pada tahun 2001, menunjukkan bahwa anak-anak dari ibu yang bekerja di luar rumah selama 30 jam atau lebih dalam seminggu mengalami keterlambatan perkembangan kognotif.
Penelitian lain yang diterbitkan di Boston Globe, Juli 2002, mengungkapkan bahwa anak-anak yang ibunya kembali bekerja sebelum mereka berusia 9 bulan, memiliki kemampuan verbal yang lebih rendah di usia 3 tahun dibanding anak yang ibunya tinggal di rumah dan mengasuh langsung anak-anaknya.
Demikianlah jadinya jika ibu pergi dari rumah dan menelantarkan pendidikan anak-anaknya. Padahal dibutuhkan generasi-generasi cendikia untuk membangun sebuah masyarakat yang berbudaya serta beradab.
Tidak ingatkah kita pada sosok Imam Syafi'i? Beliau terlahir dalam keadaan yatim dan miskin. Lantas siapakah yang mendidik dan mengarahkan Syafi'i kecil sehingga berhasil menjadi ulama' besar jika bukan ibunya?
Ada juga Imam Ahmad yang bernasib tidak jauh dari Imam Syafi'i. Ayah Imam Ahmad meninggal ketika ia masih kecil. Jadi, ibundanyalah yang mendidik Imam Ahmad kecil. Imam Ahmad kecil bercerita, "Ibu yang telah menuntun diriku hingga hafal al-Qur'an ketika masih berusia sepuluh tahun. Dia selalu membangunkan aku jauh lebih awal sebelum waktu Shubuh tiba, memanaskan air untukku karena cuaca di Baghdad sangat dingin, lalu memakaikan baju dan kami pun menunaikan shalat semampu kami."
Usai menunaikan shalat malam, ibu pergi ke masjid dengan mengenakan cadar untuk menunaikan shalat Shubuh bersama Imam Ahmad. Sejak pagi hingga tengah hari, Imam Ahmad terus diajari ilmu pengetahuan oleh ibundanya.
Ibu-ibu mereka layak disebut suri tauladan. Alangkah baiknya jika kita bisa meniti kehidupan seperti ibu-ibu mereka.
Ketika Ibu Harus Pergi
Ketika ibu pergi bekerja, sadarkah ibu bahwa anak-anak akan mengalami suatu 'kehilangan' dalam hidupnya? Umumnya anak akan mencari perhatian ibu dengan berbagai cara. Ada tindakan positif, ada juga tindakan yang negative. Ada anak yang mencari perhatian dengan belajar mati-matian agar memperoleh hasil studi yang sangat bagus. Tapi ada juga anak yang kemudian melakukan hal-hal aneh atau kenakalan-kenakalan agar orangtuanya melihat dan memperhatikan mereka.
Namun demikian, jika dalam kondisi tertentu menuntut ibu untuk mencari nafkah, diperbolehkan baginya keluar rumah untuk bekerja, tetapi ia harus memperhatikan adab-adab keluar rumah sehingga tetap terjaga kemuliaan serta kesucian harga dirinya.
Selain itu tentunya ia harus berusaha membatasi kesibukannya di luar rumah agar anak juga mendapat perhatian yang cukup dari ibunya. Perhatian itu bukan hanya dalam bentuk materi, tetapi juga ketika membuka jalur komunikasi kepada anak, mau mendengarkan mereka, dan menyediakan waktu bagi mereka.

Wallahu A'lam.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © Najma Mujaddid
Blogger Theme by BloggerThemes | Theme designed by Jakothan Sponsored by Internet Entrepreneur