Perintah untuk
menetap di rumah ini datang dari Dzat Yang Maha Memiliki Hikmah. Ketika Allah menetapkan perempuan harus tinggal di rumah, Allah sama sekali tidak berbuat zhalim kepada mereka, bahkan ketetapan
itu sebagai tanda kasih sayang Allah terhadap perempuan.
Fithrah Ibu Untuk
Tinggal di Rumah
Kisah di bawah
ini diceritakan oleh Syaikh Abdurrahman, seorang dokter muslim laki-laki yang
hidup di Prancis. Ia memiliki seorang rekan kerja perempuan berkebangsaan
Prancis. Suatu hari, rekan kerja Syaikh Abdurrahman menanyakan keadaan
istrinya, seorang muslimah yang menghabiskan hari-harinya di dalam rumah.
Sang dokter
menjawab, "Ketika istriku bangun di pagi hari, ia menyiapkan berbagai
keperluan yang dibutuhkan anak-anak di sekolah. Kemudian ia membersihkan dan
mengatur hal-hal lain yang dibutuhkan di dalam rumah. Setelah urusan
bersih-bersih selesai, maka ia sibuk dengan urusan dapur dan menyiapkan
makanan."
Dengan penuh
keheranan rekan kerjanya bertanya, "Siapa yang memenuhi kebutuhannya
padahal ia tidak bekerja?"
"Saya."
"Lalu
siapakah yang membelikan kebutuhannya?"
"Saya yang
membelikan semua yang ia inginkan."
"Engkau
yang membelikan segala sesuatu untuk istrimu?!"
"Ya."
"Sampai-sampai
urusan perhiasan emas?!"
"Ya."
"Sungguh
istrimu adalah seorang permaisuri," komentar akhir perempuan tadi.
Perempuan
memang seorang permaisuri dan rumahnya adalah istananya. Ia tidak perlu keluar
rumah untuk mencari nafkah, karena dalam Islam tugas mencari nafkah dibebankan
pada suami. Bukankah Rasulullah r pernah bersabda, "Dan hak para istri atas kalian (suami)
agar kalian memberi mereka nafkah dan pakaian dengan cara yang ma'ruf." (H.R.
Muslim)
Tanggung Jawab
Terbesar Ibu
Ketika ibu
diperintahkan untuk tetap tinggal di rumah, bukan berarti ia lepas dari
tanggung jawab. Ada tugas besar yang menanti, yaitu menjadi madrasah (sekolah)
pertama bagi anak-anaknya. Minimnya perhatian dan kelembutan ibu yang waktunya
tersita oleh aktifitas di luar rumah, sangat berpengaruh besar pada
perkembangan jiwa dan pendidikan anak.
Suatu
penelitian yang dilakukan Bio-medical Library di Universitas Minnesota pada
tahun 2001, menunjukkan bahwa anak-anak dari ibu yang bekerja di luar rumah
selama 30 jam atau lebih dalam seminggu mengalami keterlambatan perkembangan
kognotif.
Penelitian lain
yang diterbitkan di Boston Globe, Juli 2002, mengungkapkan bahwa anak-anak yang
ibunya kembali bekerja sebelum mereka berusia 9 bulan, memiliki kemampuan
verbal yang lebih rendah di usia 3 tahun dibanding anak yang ibunya tinggal di
rumah dan mengasuh langsung anak-anaknya.
Demikianlah jadinya jika ibu pergi dari rumah dan menelantarkan
pendidikan anak-anaknya. Padahal dibutuhkan generasi-generasi cendikia untuk
membangun sebuah masyarakat yang berbudaya serta beradab.
Tidak ingatkah kita pada sosok Imam Syafi'i? Beliau terlahir dalam
keadaan yatim dan miskin. Lantas siapakah yang mendidik dan mengarahkan Syafi'i
kecil sehingga berhasil menjadi ulama' besar jika bukan ibunya?
Ada juga Imam Ahmad yang bernasib tidak jauh dari Imam Syafi'i.
Ayah Imam Ahmad meninggal ketika ia masih kecil. Jadi, ibundanyalah yang
mendidik Imam Ahmad kecil. Imam Ahmad kecil bercerita, "Ibu yang telah
menuntun diriku hingga hafal al-Qur'an ketika masih berusia sepuluh tahun. Dia
selalu membangunkan aku jauh lebih awal sebelum waktu Shubuh tiba, memanaskan
air untukku karena cuaca di Baghdad sangat dingin, lalu memakaikan baju dan
kami pun menunaikan shalat semampu kami."
Usai menunaikan shalat malam, ibu pergi ke masjid dengan mengenakan
cadar untuk menunaikan shalat Shubuh bersama Imam Ahmad. Sejak pagi hingga
tengah hari, Imam Ahmad terus diajari ilmu pengetahuan oleh ibundanya.
Ibu-ibu mereka layak disebut suri tauladan. Alangkah baiknya jika
kita bisa meniti kehidupan seperti ibu-ibu mereka.
Ketika Ibu Harus Pergi
Ketika ibu pergi bekerja, sadarkah ibu bahwa anak-anak akan
mengalami suatu 'kehilangan' dalam hidupnya? Umumnya anak akan mencari
perhatian ibu dengan berbagai cara. Ada tindakan positif, ada juga tindakan
yang negative. Ada anak yang mencari perhatian dengan belajar mati-matian agar
memperoleh hasil studi yang sangat bagus. Tapi ada juga anak yang kemudian
melakukan hal-hal aneh atau kenakalan-kenakalan agar orangtuanya melihat dan
memperhatikan mereka.
Namun demikian, jika dalam kondisi tertentu menuntut ibu untuk
mencari nafkah, diperbolehkan baginya keluar rumah untuk bekerja, tetapi ia
harus memperhatikan adab-adab keluar rumah sehingga tetap terjaga kemuliaan
serta kesucian harga dirinya.
Selain itu tentunya ia harus berusaha membatasi kesibukannya di
luar rumah agar anak juga mendapat perhatian yang cukup dari ibunya. Perhatian
itu bukan hanya dalam bentuk materi, tetapi juga ketika membuka jalur
komunikasi kepada anak, mau mendengarkan mereka, dan menyediakan waktu bagi
mereka.
Wallahu A'lam.
0 komentar:
Posting Komentar