Senin, 23 Maret 2015

الحكمة في التفرقة بين الخيل والإبل في الزكاة

0 komentar

 وأما قوله: (( أوجب الزكاة في خمس من الإبل وأسقطها عن آلاف من الخيل )) فلعمر الله أنه أوجب الزكاة في هذا الجنس دون هذا كما في (( سنن أبي داود )) من حديث عاصم بن ضمرة عن علي كرم الله وجهه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: (( قد عفوت عن الخيل والرقيق، فهاتوا صدقة الرِقَّة من كل أربعين درهما درهم، وليس في تسعين ومائة شيء، فإذا بلغت مائتين ففيهما خمسة دراهم )) ورواه سفيان عن أبي إسحاق عن الحارث عن علي، وقال بقية: حدثني أبو معاذ الأنصاري عن الزهري عن سعيد بن المسيب عن أبي هريرة يرفعه (( عفوت لكم عن صدقة الجبهة، والكسعة والنخة )) قال بقية: الجبهة الخيل، والكسعة: البغال والحمير، والنخة المربيات في البيوت، وفي كتاب عمرو بن حزم: (( لا صدقة في الجبهة والكسعة: والكسعة، الحمير، والجبهة: الخيل  )) وفي (( الصحيحين )) من حديث أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه و سلم: (( ليس على المسلم في عبده ولا فرسه صدقة )).
 والفرق بين الخيل والإبل أن الخيل تراد لغير ما تراد له الإبل: فإن الإبل تراد للدر والنسل والأكل وحمل الأثقال والمتاجر والانتقال عليها من بلد إلى بلد، وأما الخيل فإنما خلقت للكر والفر والطلب والهرب، وإقامة الدين، وجهاد أعدائه. وللشارع قصد أكيد في اقتنائها و حفظها و القيام عليها، و ترغيب النفوس في ذلك بكل طريق، ولذلك عفا عن أخذ الصدقة منها: ليكون ذلك أرغب للنفوس فيما يحبه الله ورسوله من اقتنائها ورباطها، وقد قال الله تعالى: (( وأعدوا لهم ما استطعتم من قوة ومن رباط الخيل فرباط الخيل )) (الأنفال: ٦٠) فرباط الخيل من جنس آلات السلاح والحرب، فلو كان عند الرجل منها ما عساه أن يكون ولم يكن للتجارة لم يكن عليه فيه زكاة، بخلاف ما أُعِدَّ للنفقة: فإن الرجل إذا ملك منه نصابا ففيه الزكاة، وقد أشار النبي صلى الله عليه و سلم إلى هذا بعينه في قوله: (( قد عفوت لكم عن صدقة الخيل والرقيق فهاتوا صدقة الرقة )) أفلا تراه كيف فرق بين ما أعد للإنفاق وبين ما أعد لإعلاء كلمة الله ونصر دينه وجهاد أعدائه؟ فهو من جنس السيوف والرماح والسهام، وإسقاط الزكاة في هذا الجنس من محاسن الشريعة وكمالها.
نُقل من اعلام الموقعين عن رب العالمين لشمس الدين أبي عبد الله بن أبي بكر المعروف بابن قيّم الجوزيّة، الطبعة الأولى 2004 م-1425 ه، دار الكتب العلمية، بيروت، لبنان، صفحة 300.


Allah Menghendaki Keburukan (?)

2 komentar


I.                   Pendahuluan

Rasulullah r bersabda,
إِنَّ اللهَ تَعَالَى إِذَا أَرَادَ بِعَبْدٍ خَيْرًا عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوْبَةَ فِي الدُّنْيَا وَ إِذَا أَرَادَ بِعَبْدٍ شَرًّا أَمْسَكَ عَلَيْهِ بِذَنْبِهِ، حَتَّى يُوَافِيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. رواه الحاكم.
"Sesungguhnya Allah Ta'ala jika menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, maka Allah akan mempercepat hukumannya di dunia; dan jika Allah menghendaki keburukan bagi hamba-Nya, maka Allah akan menahan hukuman atas dosa-dosanya sampai hari kiamat." (H.R. Al-Hakim)[1]
Ketika Allah U menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, Allah U akan menyegerakan hukumannya di dunia.  Ketika Allah U menghendaki keburukan bagi hamba-Nya, maka Allah U akan membiarkannya melakukan apa saja yang diinginkannya. Mereka berbuat sesukanya karena tidak dihisab di dunia. Mereka tidak dihisab di dunia tetapi di akirat hisab mereka amat berat.[2]
Jika kita katakan bahwa Allah U menghendaki keburukan bagi hamba-Nya dan karena hal itu ia dimasukkan ke neraka, apakah ini artinya Allah U kejam?

II.                Allah Menghendaki Keburukan

Allah U telah menciptakan sebagian manusia taat dan sebagian taat kemudian Dia menghukum yang tidak taat. Ketika kita katakan bahwa itu adalah kekejaman, maka kita seakan menghakimi tindakan Allah U dengan pikiran dan akal kita. Ini adalah merupakan salh satu faham Mu'tazilah yang berorientasi lebih pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah.[3]
Allah U tidak berlaku kejam. Kekejaman membutuhkan adanya pelanggaran hak, sementara Allah U memiliki hak untuk melakukan apa pun, dan ciptaan-Nya tidak berhak atas-Nya. Allah U berfirman,
   
"Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai." (Q.S. Al-Anbiya': 23)
Maka ketika makhluk membuat penilaian dan menghakimi tindakan Allah U, itu adalah bentuk pemberontakan kepada Allah U. Jadi, jika ada pertanyaan apakah Allah U menghendaki terjadinya keburukan, maka jawabannya adalah bahwa Allah U memang menghendaki keburukan. Allah U menghendaki adanya keburukan secara kauniyyah/qadariyyah, namun Ia tidak menyukai dan meridhainya bahkan tidak memerintahkannya. Justru Ia membenci, memurkai, mengharamkan, dan melarangnya. Inilah pendapat para ulama As-Salaf secara menyeluruh.[4]
Iradah (kehendak Allah U) Kauniyyah mencakup segala sesuatu termasuk juga maksiatnya orang yang bermaksiat. Jadi, dalam iradah kauniyyah tidak dibedakan antara hal yang dicintai Allah U dan yang tidak dicintai-Nya. Adapun iradah syar'iyyah, maka iradah ini hanya mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai-Nya. [5]
Tidak ada satu pun kejadian yang terjadi di seluruh alam semesta ini yang di luar kehendak Allah U secara kauniyyah.[6] Iradah Kauniyyah ini disebut juga dengan Al-Masyi'ah. Sebagaimana yang akrab di lidah kaum muslimin,
مَا شَاءَ اللهُ كَانَ وَ مَا لَمْ يَشَاءْ لَمْ يَكُنْ.
"Apabila Allah menghendaki, akan terjadi dan apabila Allah tidak menghendaki, tidak akan terjadi."
Yaitu seperti tersebut dalam firman Allah U,
  
"Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman." (Q.S. Al-An'am: 125)
Juga dalam firman-Nya,
    
"Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya." (Q.S. Al-Baqarah: 253)[7]
Adapun yang dimaksud dengan iradah syar'iyyah adalah seperti yang ada dalam firman Allah U,
   
"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu." (Q.S. Al-Baqarah: 185)
Demikian juga firman-Nya,

"Dan Allah hendak menerima taubatmu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran). Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah." (Q.S. An-Nisa': 27-28)
Kehendak inilah yang umum disebut orang bila ada yang berbuat kejahatan,
هَذَا يَفْعَلُ مَا لَا يُرِيْدُهُ اللهُ.
"Orang itu melakukan hal yang tidak dikehendaki Allah."
Artinya, yang tidak Allah U sukai dan tidak Allah U ridhai.[8]
Dalam diri seorang mukmin, kadang terkumpul dua bentuk kehendak itu. Kadang Allah U menghendaki pada dirinya keimanan dalam arti kauni dan juga dalam pengertian syar'i. Adapun orang kafir, Allah U menghendaki pada dirinya keimanan secara syar'i, namun menghendaki pada dirinya kekufuran secara kauni.[9]
Segala sesuatu telah ditakdirkan, termasuk hal-hal yang menyebabkannya. Sebagai contoh, seseorang menghadapi sesuatu yang menakutkan kemudian dia berdo'a kepada Allah U, selanjutnya Allah U selamatkan dia. Do'anya kepada Allah U merupakan sebab dan Allah U menyelamatkan dirinya adalah akibat. Semuanya, sebab dan akibat, sudah ditakdirkan oleh Allah U.
Contoh lain, ada seseorang yang akan safar bingung untuk memilih penerbangan pagi atau malam hari. Kemudian dia meminta pertimbangan temannya yang menganjurkan penerbangan malam. Ia pun mengambil pilihan penerbangan malam atas rekomendasi temannya karena penerbangan malam maskapainya lebih bagus dan teruji dengan baik sedangkan yang pagi hari tidak demikian. Ternyata beberapa waktu kemudian diketahui bahwa semua penumpang yang ikut penerbangan pagi itu meninggal karena kecelakaan pesawat. Pesawat yang dioperasikan pada penerbangan pagi sebenarnya tidak layak untuk terbang.
Semua itu sudah tertulis dalam takdir secara rinci dan tidak akan meleset sedikit pun. Bahwa ia awalnya akan bingung, kemudian meminta pertimbangantemannya, kemudian temannya memberi rekomendasi, dan ia memilih sesuai saran temannya, dan kemudian ia selamat, semuanya tertulis dalam takdir.
Allah U berfirman,

"Dan segala sesuatu yang telah mereka perbuat tercatat dalam buku-buku catatan. Dan segala (urusan) yang kecil maupun yang besar adalah tertulis." (Q.S. Al-Qamar: 52-53)
Umar bin Al-Khathab t bersama para shahabat nabi lainnya pernah akan masuk ke negeri Syam yang terkena taun[10]. Umar t kemudian bermusyawarah dengan para shahabat yang lain. Ada yang menganjurkan terus masuk. Ada yang menganjurkan kembali ke Madinah. Umar t memutuskan untuk kembali ke Madinah. Sebagian orang ada yang mengatakan, "Apakah engkau lari dari takdir Allah, wahai Amirul Mukminin?"
Umar t menjawab dengan jawaban yang sangat baik dan menunjukkan pemahaman yang benar tentang takdir.
نَعَمْ نَفِرُّ مِنْ قَدَر ِاللهِ إِلَى قَدَرِ اللهِ.
"Ya, kita lari dari takdir Allah menuju takdir Allah."
Kemudian Umar t berkata,
أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَتْ لَكَ إِبِلٌ فَهَبَطَتْ وَادِياً لَهُ عُدْوَتَانِ إِحْدَاهُمَا خَصْبَةٌ وَالْأُخْرَى جَدْبَةٌ أَلَيْسَ إِنْ رَعَيْتَ الْخَصْبَةَ رَعَيْتَهَا بِقَدَرِ اللهِ وَإِنْ رَعَيْتَ الْجَدْبَةَ رَعَيْتَهَا بِقَدَرِ اللهِ؟ رواه البخاري و مسلم.
"Bagaimana pendapatmu jika engkau memiliki unta yang turun ke lembah yang memiliki dua sisi. Satu sisi subur dan yang satu tandus. Bukankah jika engkau menggembalakan di tempat subur, engkau gembalakan berdasarkan takdir Allah. Dan jika engkau gembalakan di tempat tandus, engkau gembalakan dengan takdir Allah?" (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)[11]
Dalam hadits lain dinyatakan,
سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ، يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرَأَيْتَ رُقًى نَسْتَرْقِيْهَا وَدَوَاءً نَتَدَاوَى بِهِ وَتُقَاةً نَتَقِيْهَا هَلْ تَرُدُّ مِنْ قَدَرِ اللهِ شَيْئًا ؟ قَالَ هِيَ مِنْ قَدَرِ اللهِ. رواه الترمذي و ابن ماجه.
Rasulullah r ditanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu mengenai ruqyah yang kita lakukan, pengobatan yang kita upayakan, dan tameng yang kita gunakan untuk melindungi diri? Apakah semua itu bisa menolak takdir Allah?" Rasul r bersabda, "Itu (semua) termasuk takdir Allah." (H.R. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)[12]
Hal ini menunjukkan bahwa hasil dan penyebabnya telah ditakdirkan oleh Allah U. Kita tidak tahu apa yang ditakdirkan Allah U sebelum terjadi. Karenanya, yang harus dilakukan adalah berusaha keras dengan memohon pertolongan Allah U berdasarkan petunjuk Nabi r dan para shahabatnya. Ketika sudah terjadi, jika tercapai keberhasilan, jangan merasa berbangga diri dengan melupakan Allah U. Ingatlah bahwa itu karena pertolongan Allah U. Jika terjadi kegagalan atau keburukan, jangan larut dalam keputusasaan. Ingatlah, bahwa itu telah ditakdirkan oleh-Nya. [13]
   
"Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri." (Q.S. Al-Hadid: 22-23)
Ikrimah berkata, "Perasaan senang dan sedih tidak diciptakan begitu saja, tetapi kegembiraan dicipta agar kita bersyukur dan kesedihan dicipta agar kita bersabar."[14]
Al-Muzani Rahimahullah kemudian berkata, "Mereka (para makhluk) tidak mempunyai kekuasaan untuk mendapat manfaat dalam berbuat ketaatan. Mereka juga tidak mampu untuk menolak hal-hal yang bisa memalingkan mereka pada kemaksiatan.[15]
Semua yang ditakdirkan pasti akan terjadi. Namun, sebelum sesuatu terjadi, manusia harus berupaya memohon pertolongan kepada Allah U. Manusia memiliki kehendak, namun kehendaknya di bawah kehendak Allah U.
Jika seseorang tergelincir dalam perbuatan dosa, hendaknya ia bertaubat kepada Allah U dengan sebenar-benar taubat, bertekad kuat untuk tidak mengulanginya lagi, kemudian menyesali perbuatannya,[16] tetapi jangan larut dalam perasaan bersalah yang akan menggiringnya pada sikap putus asa dari rahmat Allah U. Yakinlah bahwa itu semua telah ditakdirkan. Kita tidak dapat menghindar.
Suatu saat, Allah U dengan kuasa-Nya mempertemukan Nabi Adam u dengan Musa u. Nabi Musa u berkata, "Wahai Adam, engkau adalah ayah kami, dan (dengan sebab perbuatanmu) engkau keluarkan kami dari surga." Nabi Adam u kemudian menjawab,
يَا مُوسَى اصْطَفَاكَ اللَّهُ بِكَلَامِهِ وَخَطَّ لَكَ بِيَدِهِ أَتَلُومُنِي عَلَى أَمْرٍ قَدَّرَهُ اللَّهُ عَلَيَّ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَنِي بِأَرْبَعِينَ سَنَةً. رواه البخاري و مسلم.
"Wahai Musa, engkau adalah orang yang terpilih sehingga berbicara (langsung) dengan Allah, dan Allah tuliskan (Taurat) untukmu dengan Tangan-Nya. Apakah engkau akan mencela aku atas perkara yang telah Allah takdirkan untukku sebelum 40 tahun Dia menciptakanku?"
Nabi Muhammad r yang mengisahkan hal itu kemudian menyatakan bahwa Nabi Adam u benar dalam hujjahnya dan mengalahkan Nabi Musa u. (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)[17]
Adam u benar karena beliau telah menyesali perbuataannya. Beliau u benar-benar bertaubat hingga kemudian berdo'a dalam do'a yang diabadikan dalam Al-Qur'an,
   
"Keduanya berkata, "Ya Rabb Kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi." (Q.S. Al-A'raf: 23)
Setelah itu beliau u meyakini bahwa apa yang telah ditakdirkan Allah U tidak akan bisa luput darinya sedikit pun. Sikap Nabi Adam u tersebut adalah benar. Di kemudian hari, sikap nabi Adam u bisa menjadi contoh bagi orang-orang beriman setelahnya.

III.             Penutup

Ketika muncul pertanyaan apakah Allah U menghendaki keburukan, maka jawabannya adalah Allah U menghendaki keburukan secara kauniyyah, tetapi tidak menghendakinya secara syar'iyyah. Iradah Kauniyyah adalah kehendak Allah U yang berlaku secara umum, baik hal-hal yang dikehendaki Allah U maupun yang tidak dikehendaki-Nya. Iradah Syar'iyyah adalah kehendak Allah U terkait dengan hal-hal yang dicintai dan diridhai Allah U saja.
Ketika Allah U menghendaki keburukan, bukan berarti Allah U kejam. Kekejaman menuntut adanya ketidakadilan, sedangkan Allah U Maha Adil. Selain ke-Mahaadilan, Allah U juga memiliki hak penuh untuk mengatur seluruh ciptaannya. Allah U berfirman,
   
"Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai." (Q.S. Al-Anbiya': 23)
Sebagian orang memiliki anggapan yang salah dalam memahami masalah takdir. Mereka hanya pasrah pada takdir tanpa melakukan usaha sama sekali. Ini merupakan suatu kesalahan, sebab Allah U telah menakdirkan hasil bersama sebabnya. Ketika kita sudah berusaha mengambil sebab dan tidak mendapatkan apa yang kita inginkan, jangan berputus asa. Sebaliknya, ketika kita mendapatkan apa yang kita inginkan, jangan sampai kita berbangga diri. Semuanya sudah merupakan ketetapan Allah U. Wallahu A'lam bish Shawab.



Daftar Pustaka:
Ad-Dimasyqi, Imaduddin Abu Al-Fida' Isma'il bin Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim (Cairo: Al-Maktab At-Taufiqiyah)
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, Takhrij Ahadits Musykilah Al-Faqr wa Kaifa 'Alajaha Al-Islam
Al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Isma'il bin Ibrahim bin Al-Mughirah, Al-Jami' Al-Musnad Ash-Shahih Al-Mukhtashar min Umur Rasulillah r wa Sunanihi wa Ayyamihi (Dar Thawq An-Najah, cet: 1, 1422 H)
Al-Ghunaimi, Abdul Akhir Hammad, Al-Minhah Al-Ilahiyah fi Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah (Beirut: Dar Ash-Shahabah, cet: 1, 1416 H/1995 M)
Al-Hakim, Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah bin Muhammad, Al-Mustadrak bi Ta'lîq Adz-Dzahabî ta'lîq Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz Adz-Dzahabi, (Al-Maktabah Asy-Syamilah)
Al-Muzanni, Isma'il bin Yahya, Isma'il bin Yahya Al-Muzanni wa Risalatuhu Syarh As-Sunnah. pdf, tahqiq: Jammal 'Azzun
Al-Qazwaini, Muhammad bin Yazid Abu Abdullah, Sunan Ibnu Majah (Beirut: Dar Al-Fikr)
An-Nablusi, Muhammad Ratib, http://www.nabulsi.com/blue/ar/art.php?art=6631&id=44&sid=46&ssid=48&sssid=49, diakses pada 26 September 2014 pukul 20.00.
An-Naisaburi, Abu Al-Hasan Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi, Al-Jami' Ash-Shahih Al-Musama Shahih Muslim (Beirut: Dar Al-Jail dan Dar Al-Afaq Al-Jadidah)
Asy-Syarhastani, Muhammad bin Abdul Karim bin Abu Bakr Ahmad, Al-Milal wa An-Nihal ( Beirut: Dar Al-Ma'rifah, 1404 H)
As-Sulami, Muhammad bin Isa Abu Isa At-Tirmidzi, Al-Jami' Ash-Shahih Sunan At-Tirmidzi (Beirut: Dar Ihya' At-Turats Al-Arabi)
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia ( Jakarta: Balai Pustaka, 2002)
Hakimmi, Hafizh bin Ahmad, Ma'arij Al-Qabul bi Syarh Sullam Al-Wushul (Beirut: Dar Al-Hadits, 1427 H/2006 M)
Iwaji, Ghalib bin Ali, Firaq Mu'ashirah (Al-Maktabah Asy-Syamilah)




[1] Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah bin Muhammad Al-Hakim, Al-Mustadrak bi Ta'lîq Adz-Dzahabî ta'lîq Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz Adz-Dzahabi, (Al-Maktabah Asy-Syamilah), hadits no: 8799, juz: 7, hal: 227.
[2] Muhammad Ratib An-Nablusi, http://www.nabulsi.com/blue/ar/art.php?art=6631&id=44&sid=46&ssid=48&sssid=49, diakses pada 26 September 2014 pukul 20.00.
[3] Muhammad bin Abdul Karim bin Abu Bakr Ahmad Asy-Syarhastani, Al-Milal wa An-Nihal ( Beirut: Dar Al-Ma'rifah, 1404 H), juz: 1, hal: 44.
[4] Abdul Akhir Hammad Al-Ghunaimi, Al-Minhah Al-Ilahiyah fi Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah (Beirut: Dar Ash-Shahabah, cet: 1, 1416 H/1995 M), hal: 308.
[5] Ghalib bin Ali Iwaji, Firaq Mu'ashirah (Al-Maktabah Asy-Syamilah), hal: 143 dan Abdul Akhir Hammad Al-Ghunaimi, Al-Minhah…, hal: 308.
[6] Abdul Akhir Hammad Al-Ghunaimi, Al-Minhah…, hal: 308.
[7] Ibid, hal: 309.
[8]Ibid.
[9]Ibid dan Imaduddin Abu Al-Fida' Isma'il bin Katsir Ad-Dimasyqi, Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim (Cairo: Al-Maktab At-Taufiqiyah), juz: 2, hal: 398.
[10] Penyakit menular; wabah; epidemic; wabah penyakit menular. Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia ( Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal: 1149.
[11] Abu Abdullah Muhammad bin Isma'il bin Ibrahim bin Al-Mughirah Al-Bukhari, Al-Jami' Al-Musnad Ash-Shahih Al-Mukhtashar min Umur Rasulillah r wa Sunanihi wa Ayyamihi (Dar Thawq An-Najah, cet: 1, 1422 H), hadits no: 5729, bab: Hadits Tentang Taun, juz: 7, hal: 130 dan Abu Al-Hasan Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi, Al-Jami' Ash-Shahih Al-Musama Shahih Muslim (Beirut: Dar Al-Jail dan Dar Al-Afaq Al-Jadidah), hadits no: 5915, bab: Taun, Ramalan, Perdukunan, dan yang lainnya, juz: 7, hal: 29.
[12] Muhammad bin Isa Abu Isa At-Tirmidzi As-Sulami, Al-Jami' Ash-Shahih Sunan At-Tirmidzi (Beirut: Dar Ihya' At-Turats Al-Arabi), hadits no: 2065, bab: Ruqyah dan Pengobatan, juz: 4, hal: 399 dan Muhammad bin Yazid Abu Abdullah Al-Qazwaini, Sunan Ibnu Majah (Beirut: Dar Al-Fikr), hadits no: 3437, bab: Allah U Tidak Menurunkan Penyakit Kecuali Menurunkan Obatnya Juga, juz: 2, hal: 1137 dengan lafadz yang berbeda. Hadits ini dihasankan oleh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam Takhrij Ahadits Musykilah Al-Faqr wa Kaifa 'Alajaha Al-Islam no: 11.
[13]Imaduddin Abu Al-Fida' Isma'il bin Katsir Ad-Dimasyqi, Tafsir Al-Qur'an…, juz: 8, hal: 21.
[14] Ibid.
[15]Isma'il bin Yahya Al-Muzanni, Isma'il bin Yahya Al-Muzanni wa Risalatuhu Syarh As-Sunnah. pdf, tahqiq: Jammal 'Azzun, hal: 80.
[16] Hafizh bin Ahmad Hakimmi, Ma'arij Al-Qabul bi Syarh Sullam Al-Wushul (Beirut: Dar Al-Hadits, 1427 H/2006 M), juz: 2, hal: 356.
[17]Abu Abdullah Muhammad bin Isma'il bin Ibrahim bin Al-Mughirah Al-Bukhari, Al-Jami' Al-Musnad…, hadits no: 6614, bab: Adam Mengajukan Alasan Kepada Musa u di hadapan Allah r, juz: 8, hal: 126 dan Abu Al-Hasan Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi, Al-Jami' Ash-Shahih…, hadits no: 6912, bab: Hujjah Adam dan Musa 'Alaihima As-Salam, juz: 8, hal: 49.
 
Copyright © Najma Mujaddid
Blogger Theme by BloggerThemes | Theme designed by Jakothan Sponsored by Internet Entrepreneur