A. Pendahuluan
Permasalahan al-‘udzru bil jahl sudah diakui secara mutlak oleh
para ulama’ baik dalam permasalahan fiqih maupun permasalahan aqidah. Bahkan
Abu Al-‘Abbas Rahimahullah berpendapat bahwa pernyataan yang mengatakan
bahwa tidak ada al-‘udzru bil jahl dalam permasalahan aqidah adalah
bid’ah.[1]
Namun apakah al-‘udzru bil jahl berlaku di semua tempat dan bagi semua
orang?
B. Apakah Al-‘Udzru
bil Jahl Berlaku di Semua Tempat dan Bagi Setiap Orang?
1.
Pengertian Al-Jahl
Al-Jahlu
berasal dari akar kata jahila-yajhalu-jahlan-wa jahâlatan yang
merupakan lawan kata dari ‘alima (mengetahui).[2] Menurut istilah ahlu kalam, al-jahlu berarti meyakini sesuatu
dengan keyakinan yang menyelisihi hakikat sebenarnya.[3]
2.
Apakah Al-‘Udzru bil Jahl Berlaku
di Semua Tempat dan Bagi Setiap Orang?
Walaupun
al-‘udzru bil jahl sudah diakui adanya oleh para ulama’, uzur ini tidak
dapat diberlakukan secara mutlak. Penerapan al-‘udzru bil jahl berlainan
antar satu individu dengan individu lainnya, bergantung pada individu itu
sendiri, tempat, waktu, tersebar tidaknya ilmu, dan kejelasan perkara agama
yang tidak diketahuinya.[4]
Secara
mutlak, orang yang bodoh tidak akan dihukum karena kebodohannya,[5] tetapi perlu diketahui bahwa ada tiga golongan orang bodoh.
Pertama,
orang bodoh yang taqlid. Mereka tidak memiliki ilmu dan
keyakinan karena tidak sampainya ilmu yang benar kepada mereka. Jika mereka
tidak berkemampuan mempelajari ajaran yang benar, maka hukumnya sama seperti
laki-laki yang lemah, perempuan, dan anak-anak yang tidak tahu jalan dan tidak
mengerti tujuan. Mereka itu niscaya akan diampuni oleh Allah U.[6]
Mereka
tidak dapat dikafirkan jika mereka mengaku beragama Islam serta bersaksi bahwa
tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allah U dan bahwa Muhammad r adalah utusan Allah U. Tetapi jika mereka tidak dinisbatkan kepada Islam, maka di dunia
ia dihukumi sesuai agama yang dianutnya dan di akhirat ia dihukumi seperti ahlul
fatrah.[7]
Sebenarnya
yang biasa disebut ahlul fatrah adalah manusia yang hidup di antara masa
Nabi Isa u dan Nabi Muhammad r,[8] tetapi sebagian ulama' menisbatkan nama ahlul fatrah kepada
siapa saja yang belum mendapatkan da'wah.[9] Pada hari kiamat, ahlul fatrah akan diuji oleh Allah U. Jika mereka taat, mereka akan masuk surga. Jika mereka tidak
taat, mereka akan masuk neraka.[10]
Kedua,
mereka yang bisa bertanya, mencari hidayah, serta mengerti
kebenaran, namun mereka meninggalkannya karena sibuk dengan urusan dunia.
Mereka adalah orang teledor yang pantas menerima ancaman dan berdosa karena
meninggalkan kewajibannya, yaitu bertakwa kepada Allah U sebatas kemampuannya.[11]
Ketiga,
orang yang gemar bertanya dan belajar. Ia sudah mempelajari
kebenaran, tetapi ia meninggalkannya karena taqlid, fanatic, atau karena
benci pada penegak kebenaran. Orang yang seperti ini minimal hukumnya fasik. Mengenai
kekafirannya, masih menjadi perselisihan pendapat di kalangan ulama' dan masih
perlu dirinci lagi. [12]
Shalih
bin Alu Asy-Syaikh Rahimahullah berkata, "Vonis kafir hanya
ditetapkan oleh ahlul 'ilmi dan vonis kafir lebih berat dari vonis
syirik."[13]
C. Kesimpulan
Al-'Udzru
bil jahl tidak berlaku untuk di setiap tempat
dan bagi setiap orang. Al-'Udzru bil jahl hanya berlaku untuk
orang-orang yang belum mendapatkan dakwah Islam dikarenakan mereka tinggal di
daerah-daerah yang tidak terjangkau oleh dakwah Islam. Mereka tidak akan
dihukumi kafir jika mereka telah menisbatkan dirinya kepada Islam.
Orang
yang sebenarnya bisa keluar dari daerah tersebut untuk belajar Islam namun
enggan untuk pergi, masuk dalam kategori bodoh juga. Ia tidak dapat dikafirkan,
namun ia berdosa karena tidak melaksanakan kewajiban bertaqwa kepada Allah U sesuai kesanggupannya.
Mengenai
orang yang sudah mendapatkan dakwah Islam namun tidak mau menerimanya, hukum
minimalnya adalah fasiq. Mengenai kekafirannya masih harus diperinci lagi.
Selain itu, vonis kafir mu'ayyan tidak dijatuhkan kecuali jika sudah
ditetapkan oleh seluruh ulama' yang tsiqah sebagaimana telah dikemukakan
oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah dalam "Ar-Rasâ'il
Asy-Syakhsiyah".
Wallahu
A'lam bish Shawab.
Daftar
Pustaka:
Abadi, Majduddin Muhammad bin Ya’qub Al-Fairuz, Al-Qâmûs Al-Muhîth (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 1434 H/ 2013 M).
Al-Farisi, Abdullah, Syaikh Al-Islam Muhammad bin Abd Al-Wahhab
Rahimahullah wa At-Takfîr http://www.saaid.net/monawein/sh/2.htm,
diakses pada 1 Juni 2014 pukul 20.31 WIB.
Al-Ghafili, Abu Salman Abdullah bin Muhammad, Ahlu Al-Fatrah
Aqsâm wa Ahkâm (Mekah: Ghalifah).
Al-Ghunaimi, Abdul Akhir Hammad, Al-Minhah Al-Ilâhiyah fî Tahdzîb Syarh Ath-Thahâwiyah (Beirut: Dar Ash-Shahabah, 1416 H/
1995 M).
......................., Al-'Udzr bi Al-Jahl Asma' wa Ahkam (Mekah:
Dar Al-Qur'an bi Ghalifah, 1432 H/2008 M).
Al-Harani, Taqiyudin Ahmad bin Taimiyah, Majmu'ah Al-Fatâwâ jilid:
11 (Al-Maktabah At-Tawfîqîyah).
Al-Jauziyah, Muhammad bin Abu Bakar Ayub Az-Zar'I Ibnu Al-Qayyim, Ath-Thurûq
Al-Hukmiyah fî As-Siyâsah
Asy-Syar'iyyah (ISLAMICBOOK.WS,
2010).
Al-Khudair, Abdul Karim bin Abdullah, Mâ Hukmu Al-‘Udzru bi
Al-Jahl? http://www.khudheir.com/text/4072
diakses pada 21 Mei 2014 pukul 20:22.
Al-'Utsaimin, Muhammad bin Shalih, Fatâwâ Al-'Aqîdah wa Arkân Al-Islâm (Madinah Al-'Abur: Dar Al-'Anan, 1425 H/2004
M).
Anis, Ibrahim dkk, Al-Mu’jam Al-Wasîth (Cairo:…).
As-Sa’idan ,Walid bin Rasyid, Ithâf Ahlu Al-Albâb Bima’rifah
At-Tauhîd fî Su’âl wa Jawâb juz:
3 (Al-Maktabah Asy-Syamilah).
http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=199757,
diakses pada 21 Mei 2014 pukul 20.31 WIB.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997).
Syukri, Muwafiq Ahmad, Ahlu Al-Fatrah wa Man fi Hukmihim (Beirut:
Dar Ibnu Katsir, 1409 H/1988 M).
[1]Walid bin
Rasyid As-Sa’idan, Ithâf Ahlu Al-Albâb Bima’rifah At-Tauhîd
fî Su’âl wa Jawâb juz:
3 (Al-Maktabah Asy-Syamilah), hal: 177.
[2] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), hal: 219 dan Majduddin Muhammad bin Ya’qub Al-Fairuz Abadi, Al-Qâmûs
Al-Muhîth (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 1434 H/ 2013 M), hal: 994.
[4] Abdul Karim bin Abdullah Al-Khudair, Mâ Hukmu Al-‘Udzru bi
Al-Jahl? http://www.khudheir.com/text/4072
diakses pada 21 Mei 2014 pukul 20:22.
[5] Abdul Akhir Hammad Al-Ghunaimi, Al-Minhah Al-Ilâhiyah fî Tahdzîb Syarh Ath-Thahâwiyah (Beirut: Dar Ash-Shahabah, 1416 H/
1995 M), hal: 172.
[6] Muhammad bin Abu Bakar Ayub Az-Zar'I Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah, Ath-Thurûq
Al-Hukmiyah fî As-Siyâsah
Asy-Syar'iyyah (ISLAMICBOOK.WS,
2010), hal: 103.
[7] Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin, Fatâwâ Al-'Aqîdah wa Arkân Al-Islâm (Madinah Al-'Abur: Dar Al-'Anan, 1425 H/2004
M), hal: 153, Abu Salman Abdullah bin Muhammad Al-Ghafili, Ahlu
Al-Fatrah Aqsâm wa Ahkâm (Mekah: Ghalifah), hal: 51, dan Taqiyudin Ahmad
bin Taimiyah Al-Harani, Majmu'ah Al-Fatâwâ (Al-Maktabah At-Tawfîqîyah), jilid: 11, hal: 231.
[8] Muwafiq Ahmad Syukri, Ahlu Al-Fatrah wa Man fi Hukmihim (Beirut:
Dar Ibnu Katsir, 1409 H/1988 M), hal: 60.
[9]http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=199757,
diakses pada 21 Mei 2014 pukul 20.31 WIB.
[10] Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin, Fatâwâ…, hal: 153, Muwafiq
Ahmad Syukri, Ahlu Al-Fatrah…, hal: 113, dan Abu Salman Abdullah bin
Muhammad Al-Ghafili, Ahlu Al-Fatrah…, hal: 52.
[11] Muhammad bin Abu Bakar Ayub Az-Zar'I Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah, Ath-Thurûq…, hal: 103, Abu Salman Abdullah bin
Muhammad Al-Ghafili, Al-'Udzr bi Al-Jahl Asma' wa Ahkam (Mekah: Dar
Al-Qur'an bi Ghalifah, 1432 H/2008 M), hal: 217, dan Muhammad bin Shalih
Al-'Utsaimin, Fatâwâ…, hal: 153.
[12] Muhammad bin Abu Bakar Ayub Az-Zar'I Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah, Ath-Thurûq…, hal: 103, Muhammad bin Shalih
Al-'Utsaimin, Fatâwâ…, hal: 153.
0 komentar:
Posting Komentar