Jumat, 20 Maret 2015

Apakah Al-‘Udzru bil Jahl Berlaku di Semua Tempat dan Bagi Semua Orang?


A.    Pendahuluan

Permasalahan al-‘udzru bil jahl sudah diakui secara mutlak oleh para ulama’ baik dalam permasalahan fiqih maupun permasalahan aqidah. Bahkan Abu Al-‘Abbas Rahimahullah berpendapat bahwa pernyataan yang mengatakan bahwa tidak ada al-‘udzru bil jahl dalam permasalahan aqidah adalah bid’ah.[1] Namun apakah al-‘udzru bil jahl berlaku di semua tempat dan bagi semua orang?

B.     Apakah Al-‘Udzru bil Jahl Berlaku di Semua Tempat dan Bagi Setiap Orang?

1.                  Pengertian Al-Jahl

Al-Jahlu berasal dari akar kata jahila-yajhalu-jahlan-wa jahâlatan yang merupakan lawan kata dari ‘alima (mengetahui).[2] Menurut istilah ahlu kalam, al-jahlu berarti meyakini sesuatu dengan keyakinan yang menyelisihi hakikat sebenarnya.[3]

2.                  Apakah Al-‘Udzru bil Jahl Berlaku di Semua Tempat dan Bagi Setiap Orang?

Walaupun al-‘udzru bil jahl sudah diakui adanya oleh para ulama’, uzur ini tidak dapat diberlakukan secara mutlak. Penerapan al-‘udzru bil jahl berlainan antar satu individu dengan individu lainnya, bergantung pada individu itu sendiri, tempat, waktu, tersebar tidaknya ilmu, dan kejelasan perkara agama yang tidak diketahuinya.[4]
Secara mutlak, orang yang bodoh tidak akan dihukum karena kebodohannya,[5] tetapi perlu diketahui bahwa ada tiga golongan orang bodoh.
Pertama, orang bodoh yang taqlid. Mereka tidak memiliki ilmu dan keyakinan karena tidak sampainya ilmu yang benar kepada mereka. Jika mereka tidak berkemampuan mempelajari ajaran yang benar, maka hukumnya sama seperti laki-laki yang lemah, perempuan, dan anak-anak yang tidak tahu jalan dan tidak mengerti tujuan. Mereka itu niscaya akan diampuni oleh Allah U.[6]
Mereka tidak dapat dikafirkan jika mereka mengaku beragama Islam serta bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allah U dan bahwa Muhammad r adalah utusan Allah U. Tetapi jika mereka tidak dinisbatkan kepada Islam, maka di dunia ia dihukumi sesuai agama yang dianutnya dan di akhirat ia dihukumi seperti ahlul fatrah.[7]
Sebenarnya yang biasa disebut ahlul fatrah adalah manusia yang hidup di antara masa Nabi Isa u dan Nabi Muhammad r,[8] tetapi sebagian ulama' menisbatkan nama ahlul fatrah kepada siapa saja yang belum mendapatkan da'wah.[9] Pada hari kiamat, ahlul fatrah akan diuji oleh Allah U. Jika mereka taat, mereka akan masuk surga. Jika mereka tidak taat, mereka akan masuk neraka.[10]  
Kedua, mereka yang bisa bertanya, mencari hidayah, serta mengerti kebenaran, namun mereka meninggalkannya karena sibuk dengan urusan dunia. Mereka adalah orang teledor yang pantas menerima ancaman dan berdosa karena meninggalkan kewajibannya, yaitu bertakwa kepada Allah U sebatas kemampuannya.[11]
Ketiga, orang yang gemar bertanya dan belajar. Ia sudah mempelajari kebenaran, tetapi ia meninggalkannya karena taqlid, fanatic, atau karena benci pada penegak kebenaran. Orang yang seperti ini minimal hukumnya fasik. Mengenai kekafirannya, masih menjadi perselisihan pendapat di kalangan ulama' dan masih perlu dirinci lagi. [12]
Shalih bin Alu Asy-Syaikh Rahimahullah berkata, "Vonis kafir hanya ditetapkan oleh ahlul 'ilmi dan vonis kafir lebih berat dari vonis syirik."[13]

C.  Kesimpulan

Al-'Udzru bil jahl tidak berlaku untuk di setiap tempat dan bagi setiap orang. Al-'Udzru bil jahl hanya berlaku untuk orang-orang yang belum mendapatkan dakwah Islam dikarenakan mereka tinggal di daerah-daerah yang tidak terjangkau oleh dakwah Islam. Mereka tidak akan dihukumi kafir jika mereka telah menisbatkan dirinya kepada Islam.
Orang yang sebenarnya bisa keluar dari daerah tersebut untuk belajar Islam namun enggan untuk pergi, masuk dalam kategori bodoh juga. Ia tidak dapat dikafirkan, namun ia berdosa karena tidak melaksanakan kewajiban bertaqwa kepada Allah U sesuai kesanggupannya.
Mengenai orang yang sudah mendapatkan dakwah Islam namun tidak mau menerimanya, hukum minimalnya adalah fasiq. Mengenai kekafirannya masih harus diperinci lagi. Selain itu, vonis kafir mu'ayyan tidak dijatuhkan kecuali jika sudah ditetapkan oleh seluruh ulama' yang tsiqah sebagaimana telah dikemukakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah dalam "Ar-Rasâ'il Asy-Syakhsiyah".
Wallahu A'lam bish Shawab.



Daftar Pustaka:
Abadi, Majduddin Muhammad bin Ya’qub Al-Fairuz, Al-Qâmûs Al-Muhîth (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 1434 H/ 2013 M).
Al-Farisi, Abdullah, Syaikh Al-Islam Muhammad bin Abd Al-Wahhab Rahimahullah wa At-Takfîr http://www.saaid.net/monawein/sh/2.htm, diakses pada 1 Juni 2014 pukul 20.31 WIB.
Al-Ghafili, Abu Salman Abdullah bin Muhammad, Ahlu Al-Fatrah Aqsâm wa Ahkâm (Mekah: Ghalifah).
Al-Ghunaimi, Abdul Akhir Hammad, Al-Minhah Al-Ilâhiyah fî Tahdzîb Syarh Ath-Thahâwiyah (Beirut: Dar Ash-Shahabah, 1416 H/ 1995 M).
......................., Al-'Udzr bi Al-Jahl Asma' wa Ahkam (Mekah: Dar Al-Qur'an bi Ghalifah, 1432 H/2008 M).
Al-Harani, Taqiyudin Ahmad bin Taimiyah, Majmu'ah Al-Fatâwâ jilid: 11 (Al-Maktabah At-Tawfîqîyah).
Al-Jauziyah, Muhammad bin Abu Bakar Ayub Az-Zar'I Ibnu Al-Qayyim, Ath-Thurûq Al-Hukmiyah fî As-Siyâsah Asy-Syar'iyyah (ISLAMICBOOK.WS, 2010).
Al-Khudair, Abdul Karim bin Abdullah, Mâ Hukmu Al-‘Udzru bi Al-Jahl? http://www.khudheir.com/text/4072 diakses pada 21 Mei 2014 pukul 20:22.
Al-'Utsaimin, Muhammad bin Shalih, Fatâwâ Al-'Aqîdah wa Arkân Al-Islâm (Madinah Al-'Abur: Dar Al-'Anan, 1425 H/2004 M).
Anis, Ibrahim dkk, Al-Mu’jam Al-Wasîth (Cairo:…).
As-Sa’idan ,Walid bin Rasyid, Ithâf Ahlu Al-Albâb Bima’rifah At-Tauhîd fî Su’âl wa Jawâb juz: 3 (Al-Maktabah Asy-Syamilah).
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997).
Syukri, Muwafiq Ahmad, Ahlu Al-Fatrah wa Man fi Hukmihim (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1409 H/1988 M).



[1]Walid bin Rasyid As-Sa’idan, Ithâf Ahlu Al-Albâb Bima’rifah At-Tauhîd fî Su’âl wa Jawâb juz: 3 (Al-Maktabah Asy-Syamilah), hal: 177.
[2] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hal: 219 dan Majduddin Muhammad bin Ya’qub Al-Fairuz Abadi, Al-Qâmûs Al-Muhîth (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 1434 H/ 2013 M), hal: 994.
[3] Ibrahim Anis dkk, Al-Mu’jam Al-Wasîth (Cairo:…), hal: 165.
[4] Abdul Karim bin Abdullah Al-Khudair, Mâ Hukmu Al-‘Udzru bi Al-Jahl? http://www.khudheir.com/text/4072 diakses pada 21 Mei 2014 pukul 20:22.
[5] Abdul Akhir Hammad Al-Ghunaimi, Al-Minhah Al-Ilâhiyah fî Tahdzîb Syarh Ath-Thahâwiyah (Beirut: Dar Ash-Shahabah, 1416 H/ 1995 M), hal: 172.
[6] Muhammad bin Abu Bakar Ayub Az-Zar'I Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah, Ath-Thurûq Al-Hukmiyah fî As-Siyâsah Asy-Syar'iyyah (ISLAMICBOOK.WS, 2010), hal: 103.
[7] Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin, Fatâwâ Al-'Aqîdah wa Arkân Al-Islâm (Madinah Al-'Abur: Dar Al-'Anan, 1425 H/2004 M), hal: 153, Abu Salman Abdullah bin Muhammad Al-Ghafili, Ahlu Al-Fatrah Aqsâm wa Ahkâm (Mekah: Ghalifah), hal: 51, dan Taqiyudin Ahmad bin Taimiyah Al-Harani, Majmu'ah Al-Fatâwâ (Al-Maktabah At-Tawfîqîyah), jilid: 11, hal: 231.
[8] Muwafiq Ahmad Syukri, Ahlu Al-Fatrah wa Man fi Hukmihim (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1409 H/1988 M), hal: 60.
[10] Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin, Fatâwâ…, hal: 153, Muwafiq Ahmad Syukri, Ahlu Al-Fatrah…, hal: 113, dan Abu Salman Abdullah bin Muhammad Al-Ghafili, Ahlu Al-Fatrah…, hal: 52.
[11] Muhammad bin Abu Bakar Ayub Az-Zar'I Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah, Ath-Thurûq…, hal: 103, Abu Salman Abdullah bin Muhammad Al-Ghafili, Al-'Udzr bi Al-Jahl Asma' wa Ahkam (Mekah: Dar Al-Qur'an bi Ghalifah, 1432 H/2008 M), hal: 217, dan Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin, Fatâwâ…, hal: 153.
[12] Muhammad bin Abu Bakar Ayub Az-Zar'I Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah, Ath-Thurûq…, hal: 103, Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin, Fatâwâ…, hal: 153.
[13] Abu Salman Abdullah bin Muhammad Al-Ghafili, Ahlu Al-Fatrah…, hal: 52.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © Najma Mujaddid
Blogger Theme by BloggerThemes | Theme designed by Jakothan Sponsored by Internet Entrepreneur