A. Pendapat
Ulama Mengenai Hak Tempat Tinggal Bagi Perempuan yang Ditalak
Ulama bersepakat bahwa perempuan
yang ditalak raj'i masih berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal dari
suaminya berdasarkan firman Allah U,
"Tempatkanlah
mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu." (Q.S. Ath-Thalaq: 6)
Perempuan yang ber-iddah dalam
keadaan hamil juga wajib mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Allah U berfirman,
"Dan jika
mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah
kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin." (Q.S. At-Tahrim: 6)
Ulama berselisih pendapat mengenai
hak tempat tinggal dan nafkah bagi perempuan yang ditalak ba'in dan tidak
sedang dalam keadaan hamil. Ada tiga pendapat mengenai hal ini:
1.
Mereka
mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Ini adalah pendapat Ahlu Kufah.
2.
Mereka
tidak mendapatkan tempat tinggal dan nafkah. Ini adalah pendapat Imam Ahmad,
Daud, Abu Tsaur, Ishaq, dan yang lainnya.
3.
Mereka
hanya mendapatkan hak tempat tinggal saja. Ini adalah pendapat Imam Malik,
Asy-Syafi'i, dan yang lainnya.[1]
Pembahasan yang dibahas dalam makalah ini adalah hak tempat tinggal
bagi istri yang ditalak ba'in. Untuk mempermudah pembahasan, pembagiannya akan
diubah menjadi:
1.
Istri
mendapatkan hak tempat tinggal. Ini adalah pendapat Ahlu Kufah, Imam Malik,
Imam Asy-Syafi'i, dan yang lainnya. [2]
2.
Istri
tidak mendapatkan hak tempat tinggal. Ini adalah pendapat Ahmad, Daud, Abu
Tsaur, Ishaq, dan yang lainnya.[3]
Sebab perselisihan ulama dalam hal ini adalah karena adanya
perselisihan dalam periwayatan hadits Fathimah binti Qais dan karena adanya ta'arudh
zhahir Al-Qur'an dengan hadits tersebut.[4]
B.
Al-Adillah
1.
Adillah Kelompok
Pertama
Berikut
dalil-dalil yang digunakan oleh kelompok pertama:
a)
Allah
U mewajibkan suami untuk menyediakan tempat tinggal bagi istri yang
ditalak ba'in dengan firman-Nya,
"Tempatkanlah mereka (para
istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu." (Q.S. Ath-Thalaq: 6)
Ayat
di atas berlaku umum bagi setiap perempuan yang ditalak selama masih dalam masa
'iddah.
b)
Banyak shahabat yang berpendapat bahwa perempuan yang ditalak ba'in
mendapatkan hak tempat tinggal, seperti Umar bin Al-Khathab t dan Aisyah Radhiyallahu 'Anha.[5]
c)
Menjalani masa 'iddah adalah hak suami, jadi istri berhak
mendapatkan tempat tinggal. Salah satu hikmah 'iddah adalah untuk mengetahui
istri hamil atau tidak. Ketika istri hamil, suami wajib memberi nafkah pada
anak yang dikandung oleh istrinya. Pemberian nafkah ini tidak dapat
dilaksanakan kecuali dengan memberi nafkah ibu yang mengandungnya. Selama ada
kewajiban memberi nafkah, maka kewajiban menyediakan tempat tinggal juga ada.[6]
d)
Perempuan yang ditalak, apapun nama talaknya, berhak mendapatkan
tempat tinggal.
Allah U berfirman,
"Maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) 'iddahnya
(yang wajar)"
(Q.S. Ath-Thalaq: 1)
Khithab ayat
di atas berlaku bagi seluruh perempuan yang ditalak. Rasulullah r sendiri memerintahkan bagi suami
yang hendak menceraikan istrinya untuk menceraikannya ketika ia dalam keadaan
suci. Rasulullah r tidak merinci apakah suami akan
men-talak istrinya dengan talak satu, dua, atau tiga.
Jadi, setiap istri yang ditalak berhak mendapatkan tempat tinggal,
tidak hanya istri yang ditalak raj'i.[7]
2. Adillah Kelompok Kedua
Kelompok
kedua berhujjah dengan dalil-dalil berikut:
a)
Hadits
riwayat Fathimah binti Qais.
Fathimah
binti Qais meriwayatkan bahwa Rasulullah r bersabda,
لَا سُكْنَى لَكَ وَلَا نَفَقَةَ. رواه الترمذي.
Dalam riwayat lain disebutkan,
لاَ
نَفَقَةَ لَكِ إِلاَّ أَنْ تَكُونِي حَامِلاً. رواه أبو داود.
b)
Fathimah
binti Qais meriwayatkan bahwa Rasulullah r bersabda,
اَلْمُطَلَّقَةُ
ثَلَاثاً لَا سُكْنَى لَهَا وَلَا نَفَقَةَ إِنَّمَا السُّكْنَى وَالنَّفَقَةَ لِمَنْ
يَمْلِكُ الرَّجْعَةَ. رواه الدارقطني.
"Perempuan yang ditalak tiga tidak
mendapatkan hak tempat tinggal dan juga nafkah. Sesungguhnya hak tempat tinggal
dan nafkah untuk perempuan yang dapat dirujuk." (H.R. Ad-Daruquthni)[10]
c)
Diwajibkannya
perberian nafkah dan tempat tinggal ketika masa 'iddah memungkinkan suami untuk
dapat rujuk dengan istrinya, sebagaimana istri yang nusyuz tidak
mendapatkan hak nafkah dan tempat tinggal. Jadi, hak tempat tinggal hanya
berlaku untuk istri yang ditalak raj'i. Tidak ada hak tempat tinggal untuk istri
yang ditalak ba'in kecuali jika istri dalam keadaan hamil.[11]
C. Al-Munaqasyah
1. Munaqasyah Adillah Kelompok Kedua
Kelompok pertama mengatakan bahwa
hujjah kelompok kedua lemah karena mereka berhujjah dengan hadits riwayat
Fathimah binti Qais. Hadits riwayat Fathimah binti Qais lemah karena beberapa alasan
berikut:[12]
a)
Hadits
riwayat Fathimah bertentangan dengan riwayat yang menyatakan bahwa perempuan
yang ditalak ba'in mendapatkan hak tempat tinggal. Di antaranya adalah riwayat
Umar bin Al-Khathab t, Sa'id bin Al-Musayyib dan Aisyah.
b)
Hadits
tersebut bertentangan dengan zhahir Al-Qur'an yang menyatakan bahwa
perempuan yang ditalak ba'in mendapatkan hak untuk bertempat tinggal.
c)
Rawi
hadits ini adalah perempuan dan tidak disebutkan adanya dua saksi adil yang
menguatkan hadits ini.
d)
Ketika
Rasulullah r mengijinkan Fathimah untuk keluar dari rumahnya, bukan berarti ia
tidak memiliki hak untuk mendapatkan tempat tinggal. Rasulullah r memerintahkan Fathimah untuk keluar dari rumah suaminya karena
lisan Fathimah telah menyakiti hati keluarga suaminya.
2. Munaqasyah Adillah Kelompok Pertama
a)
Pemberian
tempat tinggal memungkinkan adanya ikhtilath, maka hak ini hanya berlaku untuk
istri yang ditalak raj'i. Hadits Fathimah binti Qais yang menyatakan bahwa hak
tempat tinggal hanya berlaku untuk talak raj'i menguatkan pendapat ini.
b)
Cela
yang menurut kelompok pertama ada pada hadits Fathimah dibantah oleh madzhab
kelompok kedua dengan argument berikut:
(1)
Adanya
rawi perempuan tidak tercela dalam periwayatan hadits. Berapa banyak hadits
shahih yang diriwayatkan oleh perempuan? Menurut ahlul 'ilmi hadits yang
diriwayatkan oleh perempuan juga boleh diamalkan.
(2)
Umar
bin Al-Khatab t tidak mengingkari hadits riwayat Fathimah binti Qais. Umar t hanya meragukan hafalan Fathimah. Lagipula lupa itu berlaku untuk
semua orang. Umar t sendiri juga lupa mengenai bolehnya tayamum untuk orang yang junub
sampai 'Ammar bin Yasir t mengingatkan beliau. Jadi, keraguan Umar t tidak dapat dijadikan hujjah.
(3)
Mengenai
perkataan yang menyatakan bahwa hadits tersebut menyelisihi zhahir Al-Qur'an,
maka sebenarnya hadits Fathimah dapat dijadikan takhsis ayat.
(4)
Untuk
pernyataan yang menyatakan bahwa Fathimah diperintahkan keluar dari rumahnya
karena lisannya telah menyakiti hati keluarga suaminya, maka pendapat ini
terlalu jauh. Kalau memang ia berhak mendapatkan tempat tinggal, mana mungkin
Rasulullah r memerintahkannya keluar dari rumah suaminya.
(5)
Hadits
riwayat Umar t tidak shahih. Ad-Daruquthni meriwayatkan bahwa Umar t berkata, "Aku mendengar Rasulullah r bersabda,
لَهَا
السُّكْنَى وَالنَّفَقَةَ.
"Perempuan (yang ditalak) berhak
mendapatkan tempat tinggal dan nafkah."
Hadits
ini diriwayatkan oleh Ibrahim An-Nakha'i dari Umar t. Padahal Ibrahim tidak mendengar hadits tersebut dari Umar t karena Ibrahim baru lahir dua tahun setelah wafatnya Umar.
D. At-Tarjih
Pendapat
kelompok pertama, yaitu perempuan yang ditalak ba'in berhak mendapatkan hak
tempat tinggal, lebih kuat. Mereka berlandasan dengan ayat Al-Qur'an yang
mewajibkan pemberian tempat tinggal untuk perempuan yang ditalak. Ayat tersebut
'am dan berlaku bagi seluruh perempuan yang ditalak.
Menjalani
masa 'iddah adalah hak suami, jadi suami harus menyediakan tempat tinggal
untuknya.
Ada
banyak shahabat yang berpendapat bahwa perempuan yang ditalak ba'in berhak
mendapatkan tempat tinggal. Para shahabat tidak mungkin mengatakan sesuatu atas
dasar hawa nafsu. Mengenai hadits Fathimah binti Qais, maka hadits tersebut
menyelisihi zhahir Al-Qur'an dan pendapat para shahabat.[14]
Wallahu
A'lam bish Shawab.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Andalusi, Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa'id bin Hazm, Al-Muhalla
bil Atsar. Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 1425 H/2003 M.
Al-Baghdadi, Ali bin Umar Abul Hasan Ad-Daruquthni, Sunanud
Daruquthni. Beirut: Darul Ma'rifah, 1386 H/1966 M.
Al-Hafid, Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid.
Cairo: Darul Aqidah, 1425 H/2004 M.
Al-Hanafi, 'Ala'udin Abu Bakar bin
Mas'ud Al-Kasani, Kitab Badai'ish Shanai' fi Tartibisy Syarai'. Beirut:
Darul Kitab Al-'Arabi, 1394 H/ 1974 M.
Al-Khudhair, Abdul Karim bin Abdullah bin Abdurrahman bin Hamad, Syarh
Al-Muwatha'. Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Al-Maqdisi, Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Qudamah, Al-Mughni
fi Fiqhil Imam Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibani. Beirut: Darul Fikr, 1405 H.
An-Nawawi, Muhyiddin Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf, Shahih
Muslim bi Syarhin Nawawi .Cairo: Al-Maktab Ats-Tsaqafi, 2001 M.
As-Sijistani, Abu Daud Sulaiman bin Al-Asy'ats, Sunan Abi Daud. Darul
Fikr.
As-Sulami, Muhammad bin Isa Abu Isa At-Tirmidzi, Al-Jami'
Ash-Shahih Sunanut Tirmidzi. Beirut: Dar Ihya'it Turats Al-'Arabi.
Asy-Syarkhasi, Syamsudin, Kitabul Mabsuth. Beirut: Darul
Ma'rifah.
Asy-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad, Nailul Authar.
Cairo: Darul Hadits, 1426 H/2005 M.
Asy-Syirazi,Abu Ishaq, Al-Muhadzab fi Fiqhil Imamisy Syafi'I. Damaskus:
Darul Qalam, 1417 H/1996 M.
'Aql, Hilmi Shalih Salim, Thesis: "Ahkamul 'Iddah fil
Fiqhil Islami". Nablus: Jami'atun Najah Al-Wathaniyah, 1412 H/1992 M.
[1] Ibnu Rusyd Al-Hafid, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid (Cairo:
Darul Aqidah, 1425 H/2004 M), juz: 2, hal: 112.
[2] 'Ala'udin
Abu Bakar bin Mas'ud Al-Kasani Al-Hanafi, Kitab Badai'ish Shanai' fi
Tartibisy Syarai' (Beirut: Darul Kitab Al-'Arabi, 1394 H/ 1974 M), juz: 3,
hal: 209, Abdul Karim bin Abdullah bin Abdurrahman bin Hamad Al-Khudhair, Syarh
Al-Muwatha' (Al-Maktabah Asy-Syamilah), pelajaran ke-100, hal: 27, Abu
Ishaq Asy-Syirazi, Al-Muhadzab fi Fiqhil Imamisy Syafi'I (Damaskus:
Darul Qalam, 1417 H/1996 M), juz: 4, hal: 548, dan Syamsudin Asy-Syarkhasi, Kitabul
Mabsuth (Beirut: Darul Ma'rifah), juz: 5, hal: 201.
[3] Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Qudamah Al-Maqdisi, Al-Mughni
fi Fiqhil Imam Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibani (Beirut: Darul Fikr, 1405 H), juz:
7, hal: 589, dan Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa'id bin Hazm Al-Andalusi, Al-Muhalla
bil Atsar (Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 1425 H/2003 M), juz: 10, hal: 74.
[5] Muhyiddin Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Shahih
Muslim bi Syarhin Nawawi (Cairo: Al-Maktab Ats-Tsaqafi, 2001 M), juz: 10,
hal: 100 dan Syamsudin Asy-Syarkhasi, Kitabul Mabsuth…, juz: 5, hal:
201.
[6] Hilmi Shalih Salim 'Aql, Thesis: "Ahkamul 'Iddah fil Fiqhil
Islami". (Nablus: Jami'atun Najah Al-Wathaniyah, 1412 H/1992 M), hal:
144.
[8] Muhammad bin Isa Abu Isa At-Tirmidzi As-Sulami, Al-Jami'
Ash-Shahih Sunanut Tirmidzi (Beirut: Dar Ihya'it Turats Al-'Arabi), hadits
no. 1180, bab: Ma Ja'a fil Muthallaqat Tsalatsan La Sukna Laha wa La
Nafaqah, juz: 3, hal: 484.
[9] Abu Daud Sulaiman bin Al-Asy'ats As-Sijistani, Sunan Abi Daud (Darul
Fikr), hadits no: 2290, bab: Fi Nafaqatil Mabtutah, juz: 2, hal: 287.
[10] Ali bin Umar Abul Hasan Ad-Daruquthni Al-Baghdadi, Sunanud
Daruquthni (Beirut: Darul Ma'rifah, 1386 H/1966 M), hadits no: 62, bab: Kitabuth
Thalaq wal Khulu' wal Ila' wa Ghairihi, juz: 4, hal: 22.
[12] Ibnu Rusyd Al-Hafid, Bidayatul Mujtahid …, juz: 2, hal: 113,
Syamsudin Asy-Syarkhasi, Kitabul Mabsuth…, juz: 5, hal: 201, Abu
Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa'id bin Hazm Al-Andalusi, Al-Muhalla…, juz:
10, hal: 94, dan Hilmi Shalih Salim 'Aql, Thesis: "Ahkamul 'Iddah…, hal:
145-146.
[13] Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Qudamah Al-Maqdisi, Al-Mughni…,
juz: 7, hal: 589, Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Nailul Authar
(Cairo: Darul Hadits, 1426 H/2005 M), juz:6, hal: 694 dan Hilmi Shalih Salim
'Aql, Thesis: "Ahkamul 'Iddah…, hal: 146.
0 komentar:
Posting Komentar