Senin, 02 Maret 2015

Hak Tempat Tinggal Bagi Perempuan yang Ditalak


A.    Pendapat Ulama Mengenai Hak Tempat Tinggal Bagi Perempuan yang Ditalak

Ulama bersepakat bahwa perempuan yang ditalak raj'i masih berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal dari suaminya berdasarkan firman Allah U,
  
"Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu." (Q.S. Ath-Thalaq: 6)
Perempuan yang ber-iddah dalam keadaan hamil juga wajib mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Allah U berfirman,
  
"Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin." (Q.S. At-Tahrim: 6)
Ulama berselisih pendapat mengenai hak tempat tinggal dan nafkah bagi perempuan yang ditalak ba'in dan tidak sedang dalam keadaan hamil. Ada tiga pendapat mengenai hal ini:
                1.       Mereka mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Ini adalah pendapat Ahlu Kufah.
                2.       Mereka tidak mendapatkan tempat tinggal dan nafkah. Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Daud, Abu Tsaur, Ishaq, dan yang lainnya.
                3.       Mereka hanya mendapatkan hak tempat tinggal saja. Ini adalah pendapat Imam Malik, Asy-Syafi'i, dan yang lainnya.[1]
Pembahasan yang dibahas dalam makalah ini adalah hak tempat tinggal bagi istri yang ditalak ba'in. Untuk mempermudah pembahasan, pembagiannya akan diubah menjadi:
                1.       Istri mendapatkan hak tempat tinggal. Ini adalah pendapat Ahlu Kufah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi'i, dan yang lainnya. [2]
                2.       Istri tidak mendapatkan hak tempat tinggal. Ini adalah pendapat Ahmad, Daud, Abu Tsaur, Ishaq, dan yang lainnya.[3]
Sebab perselisihan ulama dalam hal ini adalah karena adanya perselisihan dalam periwayatan hadits Fathimah binti Qais dan karena adanya ta'arudh zhahir Al-Qur'an dengan hadits tersebut.[4]

B.     Al-Adillah

1.    Adillah Kelompok Pertama

Berikut dalil-dalil yang digunakan oleh kelompok pertama:
a)      Allah U mewajibkan suami untuk menyediakan tempat tinggal bagi istri yang ditalak ba'in dengan firman-Nya,
  
"Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu." (Q.S. Ath-Thalaq: 6)
Ayat di atas berlaku umum bagi setiap perempuan yang ditalak selama masih dalam masa 'iddah.
b)      Banyak shahabat yang berpendapat bahwa perempuan yang ditalak ba'in mendapatkan hak tempat tinggal, seperti Umar bin Al-Khathab t dan Aisyah Radhiyallahu 'Anha.[5]
c)      Menjalani masa 'iddah adalah hak suami, jadi istri berhak mendapatkan tempat tinggal. Salah satu hikmah 'iddah adalah untuk mengetahui istri hamil atau tidak. Ketika istri hamil, suami wajib memberi nafkah pada anak yang dikandung oleh istrinya. Pemberian nafkah ini tidak dapat dilaksanakan kecuali dengan memberi nafkah ibu yang mengandungnya. Selama ada kewajiban memberi nafkah, maka kewajiban menyediakan tempat tinggal juga ada.[6]
d)     Perempuan yang ditalak, apapun nama talaknya, berhak mendapatkan tempat tinggal.
Allah U berfirman,   
"Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) 'iddahnya (yang wajar)" (Q.S. Ath-Thalaq: 1)
Khithab ayat di atas berlaku bagi seluruh perempuan yang ditalak. Rasulullah r sendiri memerintahkan bagi suami yang hendak menceraikan istrinya untuk menceraikannya ketika ia dalam keadaan suci. Rasulullah r tidak merinci apakah suami akan men-talak istrinya dengan talak satu, dua, atau tiga.
Jadi, setiap istri yang ditalak berhak mendapatkan tempat tinggal, tidak hanya istri yang ditalak raj'i.[7]

2.    Adillah Kelompok Kedua

Kelompok kedua berhujjah dengan dalil-dalil berikut:
a)      Hadits riwayat Fathimah binti Qais.
Fathimah binti Qais meriwayatkan bahwa Rasulullah r bersabda,
 لَا سُكْنَى لَكَ وَلَا نَفَقَةَ. رواه الترمذي.
"Tidak ada tempat tinggal bagimu dan juga nafkah." (H.R. At-Tirmidzi)[8]
Dalam riwayat lain disebutkan,
لاَ نَفَقَةَ لَكِ إِلاَّ أَنْ تَكُونِي حَامِلاً. رواه أبو داود.
"Tidak ada nafkah bagimu kecuali jika kamu hamil." (H.R. Abu Daud)[9]
b)      Fathimah binti Qais meriwayatkan bahwa Rasulullah r bersabda,
اَلْمُطَلَّقَةُ ثَلَاثاً لَا سُكْنَى لَهَا وَلَا نَفَقَةَ إِنَّمَا السُّكْنَى وَالنَّفَقَةَ لِمَنْ يَمْلِكُ الرَّجْعَةَ. رواه الدارقطني.
"Perempuan yang ditalak tiga tidak mendapatkan hak tempat tinggal dan juga nafkah. Sesungguhnya hak tempat tinggal dan nafkah untuk perempuan yang dapat dirujuk." (H.R. Ad-Daruquthni)[10]
c)      Diwajibkannya perberian nafkah dan tempat tinggal ketika masa 'iddah memungkinkan suami untuk dapat rujuk dengan istrinya, sebagaimana istri yang nusyuz tidak mendapatkan hak nafkah dan tempat tinggal. Jadi, hak tempat tinggal hanya berlaku untuk istri yang ditalak raj'i. Tidak ada hak tempat tinggal untuk istri yang ditalak ba'in kecuali jika istri dalam keadaan hamil.[11]

C.       Al-Munaqasyah

1.    Munaqasyah Adillah Kelompok Kedua

Kelompok pertama mengatakan bahwa hujjah kelompok kedua lemah karena mereka berhujjah dengan hadits riwayat Fathimah binti Qais. Hadits riwayat Fathimah binti Qais lemah karena beberapa alasan berikut:[12]
a)      Hadits riwayat Fathimah bertentangan dengan riwayat yang menyatakan bahwa perempuan yang ditalak ba'in mendapatkan hak tempat tinggal. Di antaranya adalah riwayat Umar bin Al-Khathab t, Sa'id bin Al-Musayyib dan Aisyah.
b)      Hadits tersebut bertentangan dengan zhahir Al-Qur'an yang menyatakan bahwa perempuan yang ditalak ba'in mendapatkan hak untuk bertempat tinggal.
c)      Rawi hadits ini adalah perempuan dan tidak disebutkan adanya dua saksi adil yang menguatkan hadits ini.
d)     Ketika Rasulullah r mengijinkan Fathimah untuk keluar dari rumahnya, bukan berarti ia tidak memiliki hak untuk mendapatkan tempat tinggal. Rasulullah r memerintahkan Fathimah untuk keluar dari rumah suaminya karena lisan Fathimah telah menyakiti hati keluarga suaminya.

2.    Munaqasyah Adillah Kelompok Pertama

Kelompok kedua membantah pendapat kelompok pertama dengan argument berikut:[13]
a)      Pemberian tempat tinggal memungkinkan adanya ikhtilath, maka hak ini hanya berlaku untuk istri yang ditalak raj'i. Hadits Fathimah binti Qais yang menyatakan bahwa hak tempat tinggal hanya berlaku untuk talak raj'i menguatkan pendapat ini.
b)      Cela yang menurut kelompok pertama ada pada hadits Fathimah dibantah oleh madzhab kelompok kedua dengan argument berikut:
(1)   Adanya rawi perempuan tidak tercela dalam periwayatan hadits. Berapa banyak hadits shahih yang diriwayatkan oleh perempuan? Menurut ahlul 'ilmi hadits yang diriwayatkan oleh perempuan juga boleh diamalkan.
(2)   Umar bin Al-Khatab t tidak mengingkari hadits riwayat Fathimah binti Qais. Umar t hanya meragukan hafalan Fathimah. Lagipula lupa itu berlaku untuk semua orang. Umar t sendiri juga lupa mengenai bolehnya tayamum untuk orang yang junub sampai 'Ammar bin Yasir t mengingatkan beliau. Jadi, keraguan Umar t tidak dapat dijadikan hujjah.
(3)   Mengenai perkataan yang menyatakan bahwa hadits tersebut menyelisihi zhahir Al-Qur'an, maka sebenarnya hadits Fathimah dapat dijadikan takhsis ayat.
(4)   Untuk pernyataan yang menyatakan bahwa Fathimah diperintahkan keluar dari rumahnya karena lisannya telah menyakiti hati keluarga suaminya, maka pendapat ini terlalu jauh. Kalau memang ia berhak mendapatkan tempat tinggal, mana mungkin Rasulullah r memerintahkannya keluar dari rumah suaminya.
(5)   Hadits riwayat Umar t tidak shahih. Ad-Daruquthni meriwayatkan bahwa Umar t berkata, "Aku mendengar Rasulullah r bersabda,
لَهَا السُّكْنَى وَالنَّفَقَةَ.
"Perempuan (yang ditalak) berhak mendapatkan tempat tinggal dan nafkah."
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibrahim An-Nakha'i dari Umar t. Padahal Ibrahim tidak mendengar hadits tersebut dari Umar t karena Ibrahim baru lahir dua tahun setelah wafatnya Umar.

D.       At-Tarjih

Pendapat kelompok pertama, yaitu perempuan yang ditalak ba'in berhak mendapatkan hak tempat tinggal, lebih kuat. Mereka berlandasan dengan ayat Al-Qur'an yang mewajibkan pemberian tempat tinggal untuk perempuan yang ditalak. Ayat tersebut 'am dan berlaku bagi seluruh perempuan yang ditalak.
Menjalani masa 'iddah adalah hak suami, jadi suami harus menyediakan tempat tinggal untuknya.
Ada banyak shahabat yang berpendapat bahwa perempuan yang ditalak ba'in berhak mendapatkan tempat tinggal. Para shahabat tidak mungkin mengatakan sesuatu atas dasar hawa nafsu. Mengenai hadits Fathimah binti Qais, maka hadits tersebut menyelisihi zhahir Al-Qur'an dan pendapat para shahabat.[14]
Wallahu A'lam bish Shawab.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Andalusi, Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa'id bin Hazm, Al-Muhalla bil Atsar. Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 1425 H/2003 M.
Al-Baghdadi, Ali bin Umar Abul Hasan Ad-Daruquthni, Sunanud Daruquthni. Beirut: Darul Ma'rifah, 1386 H/1966 M.
Al-Hafid, Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid. Cairo: Darul Aqidah, 1425 H/2004 M.
Al-Hanafi, 'Ala'udin Abu Bakar bin Mas'ud Al-Kasani, Kitab Badai'ish Shanai' fi Tartibisy Syarai'. Beirut: Darul Kitab Al-'Arabi, 1394 H/ 1974 M.
Al-Khudhair, Abdul Karim bin Abdullah bin Abdurrahman bin Hamad, Syarh Al-Muwatha'. Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Al-Maqdisi, Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Qudamah, Al-Mughni fi Fiqhil Imam Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibani. Beirut: Darul Fikr, 1405 H.
An-Nawawi, Muhyiddin Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf, Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi .Cairo: Al-Maktab Ats-Tsaqafi, 2001 M.
As-Sijistani, Abu Daud Sulaiman bin Al-Asy'ats, Sunan Abi Daud. Darul Fikr.
As-Sulami, Muhammad bin Isa Abu Isa At-Tirmidzi, Al-Jami' Ash-Shahih Sunanut Tirmidzi. Beirut: Dar Ihya'it Turats Al-'Arabi.
Asy-Syarkhasi, Syamsudin, Kitabul Mabsuth. Beirut: Darul Ma'rifah.
Asy-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad, Nailul Authar. Cairo: Darul Hadits, 1426 H/2005 M.
Asy-Syirazi,Abu Ishaq, Al-Muhadzab fi Fiqhil Imamisy Syafi'I. Damaskus: Darul Qalam, 1417 H/1996 M.
'Aql, Hilmi Shalih Salim, Thesis: "Ahkamul 'Iddah fil Fiqhil Islami". Nablus: Jami'atun Najah Al-Wathaniyah, 1412 H/1992 M.




[1] Ibnu Rusyd Al-Hafid, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid (Cairo: Darul Aqidah, 1425 H/2004 M), juz: 2, hal: 112.
[2] 'Ala'udin Abu Bakar bin Mas'ud Al-Kasani Al-Hanafi, Kitab Badai'ish Shanai' fi Tartibisy Syarai' (Beirut: Darul Kitab Al-'Arabi, 1394 H/ 1974 M), juz: 3, hal: 209, Abdul Karim bin Abdullah bin Abdurrahman bin Hamad Al-Khudhair, Syarh Al-Muwatha' (Al-Maktabah Asy-Syamilah), pelajaran ke-100, hal: 27, Abu Ishaq Asy-Syirazi, Al-Muhadzab fi Fiqhil Imamisy Syafi'I (Damaskus: Darul Qalam, 1417 H/1996 M), juz: 4, hal: 548, dan Syamsudin Asy-Syarkhasi, Kitabul Mabsuth (Beirut: Darul Ma'rifah), juz: 5, hal: 201.
[3] Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Qudamah Al-Maqdisi, Al-Mughni fi Fiqhil Imam Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibani (Beirut: Darul Fikr, 1405 H), juz: 7, hal: 589, dan Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa'id bin Hazm Al-Andalusi, Al-Muhalla bil Atsar (Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 1425 H/2003 M), juz: 10, hal: 74.
[4] Ibnu Rusyd Al-Hafid, Bidayatul Mujtahid …, juz: 2, hal: 112.
[5] Muhyiddin Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi (Cairo: Al-Maktab Ats-Tsaqafi, 2001 M), juz: 10, hal: 100 dan Syamsudin Asy-Syarkhasi, Kitabul Mabsuth…, juz: 5, hal: 201.
[6] Hilmi Shalih Salim 'Aql, Thesis: "Ahkamul 'Iddah fil Fiqhil Islami". (Nablus: Jami'atun Najah Al-Wathaniyah, 1412 H/1992 M), hal: 144.
[7] Ibid.
[8] Muhammad bin Isa Abu Isa At-Tirmidzi As-Sulami, Al-Jami' Ash-Shahih Sunanut Tirmidzi (Beirut: Dar Ihya'it Turats Al-'Arabi), hadits no. 1180, bab: Ma Ja'a fil Muthallaqat Tsalatsan La Sukna Laha wa La Nafaqah, juz: 3, hal: 484.
[9] Abu Daud Sulaiman bin Al-Asy'ats As-Sijistani, Sunan Abi Daud (Darul Fikr), hadits no: 2290, bab: Fi Nafaqatil Mabtutah, juz: 2, hal: 287.
[10] Ali bin Umar Abul Hasan Ad-Daruquthni Al-Baghdadi, Sunanud Daruquthni (Beirut: Darul Ma'rifah, 1386 H/1966 M), hadits no: 62, bab: Kitabuth Thalaq wal Khulu' wal Ila' wa Ghairihi, juz: 4, hal: 22.
[11] Hilmi Shalih Salim 'Aql, Thesis: "Ahkamul 'Iddah…, hal: 145.
[12] Ibnu Rusyd Al-Hafid, Bidayatul Mujtahid …, juz: 2, hal: 113, Syamsudin Asy-Syarkhasi, Kitabul Mabsuth…, juz: 5, hal: 201, Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa'id bin Hazm Al-Andalusi, Al-Muhalla…, juz: 10, hal: 94, dan Hilmi Shalih Salim 'Aql, Thesis: "Ahkamul 'Iddah…, hal: 145-146.
[13] Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Qudamah Al-Maqdisi, Al-Mughni…, juz: 7, hal: 589, Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Nailul Authar (Cairo: Darul Hadits, 1426 H/2005 M), juz:6, hal: 694 dan Hilmi Shalih Salim 'Aql, Thesis: "Ahkamul 'Iddah…, hal: 146.
[14] Hilmi Shalih Salim 'Aql, Thesis: "Ahkamul 'Iddah…, hal: 147.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © Najma Mujaddid
Blogger Theme by BloggerThemes | Theme designed by Jakothan Sponsored by Internet Entrepreneur