Jumat, 25 November 2016

Kabut

2 komentar

Samar-samar aku masih ingat bu guru menerangkan kalau kemerdekaan Bangsa Indonesia diraih dengan adanya persatuan.


Ketika para pemuda mulai tersadar, mereka berinisiatif untuk mempersatukan para pejuang. Organisasi-organisasi perkumpulan pemuda Indonesia mulai terbentuk. Ada Budi Utomo, Tri Koro Darmo, Jong Sumatra Bond, Jong Indonesia, dan entah apa lagi. Hingga pada tanggal 28 Oktober 1928, mereka menyerukan Sumpah Pemuda.


Samar-samar aku masih mengingat teksnya,

Pertama, kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu. Tanah Indonesia.
Kedua, kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa satu. Bangsa Indonesia.
Ketiga, kami putra dan putri Indonesia , menjunjung bahasa persatuan. Bahasa Indonesia.


Setelah diikrarkannya sumpah pemuda, putra dan putri Indonesia terus bersatu mengawal perjuangan bangsa Indonesia. Menjelang proklamasi kemerdekaan, BPUPKI mulai merancang dasar negara yang akan digunakan di Indonesia. Ada lima sila yang diterapkan di Indonesia.


Samar-samar aku masih mengingat teksny,

Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab
Ketiga, Persatuan Indonesia
Keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
Kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


Perjuangan masih berlanjut, hingga pada akhirnya proklamasi kemerdekaan Indonesia digaungkan.

Aku masih ingat ketika kita berebut untuk membacakan teks proklamasi di depan kelas. Samar-samar aku masih mengingat teksnya,

Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.


Aku tidak serta merta mengingat kisah perjuangan Bangsa Indonesia, tapi aku diingatkan . Hari ini seorang guru bertanya, masih adakah pemuda Indonesia yang siap untuk memperjuangkan bangsa dan tanah airnya? Masih adakah pemuda Indonesia yang siap membela dasar negaranya?


Hari ini bukan hari sumpah pemuda. Hari ini bukan hari kesaktian pancasila. Hari ini juga bukan hari peringatan kemerdekaan. Tetapi akankah sejarah perjuangan ini hanya diingat di hari-hari tertentu?

Minggu, 13 November 2016

DOA AWAL TAHUN

0 komentar

Jika kita telusuri, maka kita tidak akan mendapati satu riwayat pun mengenai doa awal tahun. Lagipula, pada masa Rasulullah  belum ditetapkan yang namanya tahun Hijriyah. Semua nama tahun pada masa Rasulullah  sampai dengan masa kepemimpinan Abu Bakar ash-Shidiq  masih menggunakan nama peristiwa yang terjadi pada tahun tersebut. Barulah pada masa kepemimpinan Umar bin al-Khathab kalender Hijriyah digunakan.
Berawal dari  protes Abu Musa al-Asy’ari mengenai surat-surat dari Khalifah Umar yang tidak mencantumkan tahun, kalender Hijriyah ditetapkan. Tahun pertama kalender Hijriyah dimulai dari hijrahnya Rasulullah ke Madinah. Sejak ditetapkan menjadi kalender resmi umat Islam, kalender Hijriyah masih terus digunakan hingga saat ini.
Setelah kalender Hijriyah ditetapkan pada masa Umar pun, para shahabat tidak ada yang mengajarkan doa awal tahun. Para ulama juga menegaskan bahwa tidak ada doa awal tahun. Dr. Bakr Abu Zaid (w. 1429 H) mengatakan, “Syariat Islam tidak pernah mengajarkan atau menganjurkan doa atau dzikir untuk awal tahun. Manusia saat ini banyak yang membuat kreasi baru dalam hal amalan berupa doa, dzikir, atau saling mengucapkan selamat. Demikian pula puasa di awal tahun baru, menghidupkan malam pertama bulan Muharram dengan shalat, dzikir atau doa, puasa akhir tahun, dan sebagainya. Semua ini tidak dalilnya sama sekali.” (Tashîh ad-Du’â’: 107)
Keterangan yang sama juga disampaikan oleh Syaikh Khalid Abdul Mun’im Rifa’i, “Selayaknya bagi setiap muslim tidak mengkhususkan akhir tahun atau awal tahun baru dengan ibadah apa pun; karena kebaikan itu ada saat kita mengikuti ulama terdahulu.” Para ulama Ahlus Sunnah juga seringkali mengutarkan kalimat,
لَوْ كَانَ خَيْرًا لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ.
“Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita melakukannya.” (Tafsir al-Qur’ân al-‘Azhîm, 7/278-279)
Berikut bunyi doa awal tahun yang tersebar di kalangan masyarakat,
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ. وَ صَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى أَلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلَّمَ. اَللَّهُمَّ أَنْتَ الْأَبَدِيُّ الْقَدِيْمُ الْأَوَّلُ وَ عَلَى فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ وَ كَرَمِ جُوْدِكَ المُعَوَّلِ وَ هَذَا عَامٌ جَدِيْدٌ قَدْ أَقْبَلَ أَسْأَلُكَ الْعِصْمَةَ فِيْهِ مِنَ الشَّيْطَانِ وَ أَوْلِيَائِهِ وَ الْعَوْنَ عَلَى هذِهِ النَّفْسِ اَلْأَمَّارَةِ بِالسُّوْءِ وَ الاشْتِغَالَ بِمَا يُقَرِّبُنِيْ إِلَيْكَ زُلْفَى يَا ذَالْجَلَالِ وَ الْإِكْرَامِ وَ صَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى أَلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلَّمَ.
“Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Semoga Allah tetap melimpahkan rahmat dan salam kepada junjungan kita Muhammad, beserta keluarga dan shahabat-shahabat beliau. Ya Allah, Dzat Yang Kekal, Yang Tanpa Permulaan, Yang Awal (Pertama) dan atas kemurahan-Mu yang agung dan kedermawanan-Mu yang selalu berlebih, ini tahun baru telah tiba. Kami mohon kepada-Mu pada tahun ini agar terhindar (terjaga) dari godaan setan dan semua temannya, serta bala tentara (pasukannya), dan (kami mohon) pertolongan dari godaan nafsu yang selalu memerintahkan (mendorong) berbuat kejahatan, serta (kami mohon) agar kami disibukkan dengan segala yang mendekatkan diriku kepada-Mu dengan sedekat-dekatnya wahai Dzat Yang Maha Luhur Lagi Mulia. Wahai Dzat Yang Maha Belas Kasih.”
Doa awal tahun ini katanya dibaca setelah Maghrib di awal tahun sebanyak 3 kali. Para ulama yang berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Sunnah sejauh ini belum mendapati rujukan yang shahih atas doa ini. Kesimpulannya, teks doa awal tahun ini bukan merupakan ajaran para salafus shalih. Karenanya, umat Islam harus mengabaikan doa tersebut. Silahkan doa seperti biasa di awal tahun. Tidak ada doa khusus. Wallahu A’lam.


HUKUM MAKAN SAHUR KETIKA ADZAN SHUBUH BERKUMANDANG

0 komentar


Sahur adalah makan pada dini hari bagi orang-orang yang akan menjalankan ibadah puasa. Hukum sahur adalah sunnah berdasarkan hadits riwayat Anas bin Malik bahwa Rasulullah bersabda,
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةٌ. رواه البخاري و مسلم.
"Sahurlah kalian karena sesungguhnya dalam sahur terdapat barakah." (H. R. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain, Nabi  mendorong kita untuk tidak meninggalkan makan sahur meskipun hanya dengan seteguk air. Abu Sa'id al-Khudri  meriwayatkan bahwa Rasulullah  bersabda,
اَلسّحُوْرُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ فَلَا تَدَعُوْهُ وَ لَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ. رواه أحمد.
"Makan sahur adalah barakah, maka janganlah kalian meninggalkannya meskipun salah seorang dari kalian hanya minum seteguk air." (H.R. Ahmad)
Mengenai waktu sahur, maka yang paling utama adalah dengan mengakhirkan waktunya hingga mendekati terbit fajar. Mengakhirkan waktu sahur ini juga merupakan sunnah Rasulullah  sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik  dari Zaid bin Tsabit . Beliau t berkata,
تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلَاةِ. قُلْتُ: كَمْ كَاَنَ قَدْرُ مَا بَيْنَهُمَا؟ قَالَ: خَمْسِيْنَ أَيَةً. متفق عليه.
"Kami makan sahur bersama Rasulullah , kemudian (setelah makan sahur) kami berdiri untuk melaksankan shalat." Aku (Anas bin Malik ) berkata, ‘Berapa perkiraan waktu antara keduanya (antara makan sahur dengan shalat fajar)?' Zaid bin Tsabit  berkata, "Lima puluh ayat." (Muttafaqun 'Alaih)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah  dalam Fathul Bari menyebutkan bahwa bacaan 50 ayat itu adalah bacaan yang sedang-sedang saja, tidak terlalu panjang dan tidak pula terlalu pendek. Cara membacanya juga tidak terlalu cepat dan tidak teralalu lambat. Bila kita sebutkan dengan catatan waktu maka kira-kira jarak antara keduanya 10-15 menit.
Adapun batas akhir waktu sahur adalah ketika masuknya waktu shubuh sebagaimana firman Allah ,
وَ كُلُوْا وَ اشْرَبُوْا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوْا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ. سورة البقرة: ١٨٧.
"Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam." (Q.S. Al-Baqarah: 187)
Batas akhir waktu sahur juga merupakan batas awal pelaksanaan ibadah puasa. Dalam hadits riwayat Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma disebutkan bahwa,
إِنَّ بِلَالَ يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ، فَكُلُوْا وَ اشْرَبُوْا حَتَّى يُنَادِيَ اِبْنُ أُمِّ مَكْتُوْم. متفق عليه.
"Sesungguhnya Bilal adzan pada malam hari, maka makan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum adzan." (Muttafaqun 'Alaih)
Hadits di atas secara tekstual menunjukkan bahwa ibadah puasa dimulai sejak adzan Shubuh berkumandang, namun dalam hadits lain Rasulullah  menyebutkan bahwa makan dan minum masih diperbolehkan ketika adzan Shubuh berkumandang. Rasulullah  bersabda,
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَ الْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلَا يَضَعْهٌ حَتَّى يَقْضِيْ حَاجَتَهُ مِنْهُ. رواه أبو داود.
“Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan sendok masih ada di tangannya, maka janganlah ia meletakkannya hingga hajatnya selesai.” (H.R. Abu Daud)
Hadits di atas seakan-akan bertentangan dengan al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 187. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah Ta’ala membolehkan makan sampai terbitnya fajar shubuh saja, tidak boleh lagi setelah itu. Lantas bagaimanakah cara memahami hadits di atas?
Yang berlaku di sini adalah kaidah,
اَلْيَقِيْنُ لَا يَزُوْلُ بِالشَّكِّ.
“Keyakinan itu tidak akan hilang dengan adanya keragu-raguan.”
Jika ia ragu sudah masuk waktu Shubuh atau belum, maka pada dasarnya waktu itu masih malam sehingga ia diperbolehkan makan sampai ia yakin sudah masuk waktu Shubuh.  Sebaliknya, ketika ia yakin bahwa waktu Shubuh sudah masuk dan ia tetap melanjutkan makan, maka puasanya batal. Ia wajib untuk mengqadha’ puasanya di lain hari karena ia makan di waktu yang dilarang, kecuali jika diketahui muadzin biasa adzan sebelum masuk waktu Shubuh, maka ia tetap diperbolehkan makan sampai ia yakin terbitnya fajar. Wallahu A’lam bish Shawab.
Referensi:
Al-Wajîz fî al-Fiqh al-Islâmî, Dr. Wahbah az-Zuhaili
Al-Wajîz fî Îdhâhi Qawâ’id al-Fiqh al-Kuliyah, Dr. Muhammad Shidqi bin Ahmad al-Burnu


 
Copyright © Najma Mujaddid
Blogger Theme by BloggerThemes | Theme designed by Jakothan Sponsored by Internet Entrepreneur