Pernikahan akan berhenti menimbulkan akibat-akibat hukum perdata
terhitung sejak hari pernikahan itu dinyatakan batal, namun hal ini hanya
berlaku untuk suami dan istri yang dipisahkan.[1]
Dalam Pasal 95 dan 96 KUH Per dinyatakan bahwa akibat-akibat hukum yang muncul
sebelum pernikahan dibatalkan masih diakui, baik tehadap suami istri maupun
terhadap anak-anak mereka, selama pernikahan itu dilangsungkan dengan iktikad
baik oleh kedua suami istri itu. Bila iktikad baik hanya ada pada salah satu di
antara suami istri, maka pernikahan itu hanya mempunyai akibat perdata yang
menguntungkan pihak yang beriktikad baik dan bagi anak-anak yang lahir dari
pernikahan tersebut.[2]
Dalam UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 28 Ayat 2
dinyatakan bahwa, "Keputusan tidak berlaku surut terhadap:
a.
Anak-anak
yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
b.
Suami
atau istri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama,
bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih
dahulu;
c.
Orang-orang
ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak
dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan
hukum tetap."
Dalam
Pasal 75 dan 76 KHI juga disebutkan bahwa, "Keputusan pembatalan
perkawinan tidak berlaku surut terhadap:
a.
Perkawinan
yang batal karena salah satu suami atau istri murtad;
b.
Anak-anak
yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
c.
Pihak
ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan ber’itikad baik, sebelum
keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Batalnya
suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan
orangtuanya."[3]
Dari paparan di atas
dapat disimpulkan bahwa akibat dari batalnya pernikahan tidak berlaku bagi
anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut. Jadi, status anak akibat
pembatalan pernikahan adalah anak sah. Ketika anak tersebut dianggap sebagai
anak sah, maka ia akan mendapatkan hubungan keperdataan baik dengan pihak ibu
maupun pihak ayah.[4]
[1] Diatur dalam Pasal 97 KUH Per dan Pasal 28 Ayat 1 UU RI No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Lihat Soedharyo Soimin, op.cit, p. 24.
[4] Tertera pada Pasal 250 KUH Per, Pasal 42 UU RI No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan Pasal 99 huruf a KHI. Lihat Soedharyo Soimin, op.cit, p.
61 dan Himpunan Peraturan Perundang-undangan, op.cit, p. 167.
0 komentar:
Posting Komentar