Senin, 23 Februari 2015

Kedudukan dan Akibat Hukum Anak Hasil Pernikahan Sedarah Menurut Undang-undang Positif (3.1.1)

Pernikahan akan berhenti menimbulkan akibat-akibat hukum perdata terhitung sejak hari pernikahan itu dinyatakan batal, namun hal ini hanya berlaku untuk suami dan istri yang dipisahkan.[1] Dalam Pasal 95 dan 96 KUH Per dinyatakan bahwa akibat-akibat hukum yang muncul sebelum pernikahan dibatalkan masih diakui, baik tehadap suami istri maupun terhadap anak-anak mereka, selama pernikahan itu dilangsungkan dengan iktikad baik oleh kedua suami istri itu. Bila iktikad baik hanya ada pada salah satu di antara suami istri, maka pernikahan itu hanya mempunyai akibat perdata yang menguntungkan pihak yang beriktikad baik dan bagi anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut.[2]
Dalam UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 28 Ayat 2 dinyatakan bahwa, "Keputusan tidak berlaku surut terhadap:
a.       Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
b.      Suami atau istri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;
c.       Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap."
Dalam Pasal 75 dan 76 KHI juga disebutkan bahwa, "Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:
a.       Perkawinan yang batal karena salah satu suami atau istri murtad;
b.      Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
c.       Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan ber’itikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orangtuanya."[3]
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa akibat dari batalnya pernikahan tidak berlaku bagi anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut. Jadi, status anak akibat pembatalan pernikahan adalah anak sah. Ketika anak tersebut dianggap sebagai anak sah, maka ia akan mendapatkan hubungan keperdataan baik dengan pihak ibu maupun pihak ayah.[4]


[1] Diatur dalam Pasal 97 KUH Per dan Pasal 28 Ayat 1 UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lihat Soedharyo Soimin, op.cit, p. 24.
[2] Ibid, p. 23-24.
[3] Himpunan Peraturan Perundang-undangan, op.cit, p. 160-161.
[4] Tertera pada Pasal 250 KUH Per, Pasal 42 UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 99 huruf a KHI. Lihat Soedharyo Soimin, op.cit, p. 61 dan Himpunan Peraturan Perundang-undangan, op.cit, p. 167.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © Najma Mujaddid
Blogger Theme by BloggerThemes | Theme designed by Jakothan Sponsored by Internet Entrepreneur