Sabtu, 02 Maret 2013

Urgensi Kepekaan Bagi Mahasantri

URGENSI KEPEKAAN bagi MAHASANTRI
Mahasantri tentunya berbeda dengan santri. Pengalaman-pengalaman baru yang didapatkan mahasantri akan membentuk karakter sebagai generasi cerdas. Selain dalam bidang keilmuan, mahasantri juga akan dilatih untuk mengabdikan ilmu dan pengalaman tersebut kepada masyarakat. Lamanya pendidikan yang ditempuh mahasantri dan ilmu yang lebih menjadikan masyarakat menganggap mahasantri memiliki pandangan yang lebih luas daripada santri sehingga dapat mengentas umat dari keterpurukan iman dan moral.
Sebelum mengambah kepekaan sosial dalam masyarakat, mahasantri diharapkan mampu untuk menerapkan kepekaan sosial dalam lingkungan sendiri. Karena kehidupan asrama yang unik mengajarkan mahasantri untuk beralkuturasi dengan budaya dan kebiasaan baru.
Makna Kepekaan
‘Kepekaan’ berasal dari kata ‘peka’ yang mendapat imbuhan ke-an. ‘Peka’ sendiri dalam KBBI berarti perihal yang mudah bergerak. Separti timbangan, neraca dan lain-lain. Sedangkan ‘kepekaan’ memiliki arti kesanggupan bereaksi terhadap suatu keadaan. Kepekaan memiliki beberapa sinonim, di antaranya: kerentanan, liabilitas, sensibilitas, dan sensitivitas.
Sedangkan kepekaan sosial (social sensitivity) yaitu kondisi di mana seseorang akan mudah bereaksi terhadap masalah-masalah sosial, akan tumbuh setelah adanya kesadaran sosial (social awareness) atau kemampuan untuk memahami (informed about) dan peka (sensitive) terhadap aspek-aspek sosial dalam kemasyarakatan. Demikian sekilas tentang definisi kepekaan.
Islam dan Kepekaan Sosial
Mahasantri yang notabene memiliki ilmu agama lebih banyak, dituntut untuk dapat merealisasikan ilmunya. Jika ilmu telah terealisasikan, maka pancaran iman dari dirinya akan berdampak pada kontribusi sosial yang dapat dikategorikan sebagai da’wah bin nafsie.
Rasulullah r bersabda,
عَنْ أَبِيْ ذَارِ جُنْدُبِ بْنِ جُنَادَةَ وَ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمنِ مُعَاذِ بْنِ جَبَل رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَ اتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ وَ خَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ. رواه الترمذي و قال: حديث حسن. و في بعد النسخ: حسن صحيح.
Dari Abu Dzar Jundub bin Junadah dan Abu Abdur Rahman Muadz bin Jabal t . Rasulullah r bersabda, “Bertaqwalah kamu di manapun kamu berada, ikuti keburukan itu dengan kebaikan, niscaya ia akan menghapuskannya dan berinteraksilah pada manusia dengan akhlaq yang baik.” (HR. Tirmidzi).
Rasulullah r mengajarkan pada kita tiga hal penting yang saling berkaitan, yaitu bertaqwa kepada Allah U, perbaikan diri, serta interaksi sosial yang baik. Semangat kebersamaan inilah yang seharusnya dimiliki setiap mukmin. Kepekaan terhadap apa saja yang sedang menimpa harus menjadi bagian kehidupannya. Jangan puas dengan urusan sendiri tanpa memperhatikan dan mempedulikan orang lain di sekitarnya.
Meningkatkan Kepekaan Sosial
Lingkup ma’had merupakan sebuah tatanan masyarakat sederhana karena antara satu mahasantri dengan yang lain memiliki kultur budaya yang berbeda dari masing-masing daerahnya. Kepekaan sosial yang tumbuh dalam kultur budaya yang berbeda dapat melahirkan solidaritas kolektif serta rasa senasib dan sepenanggungan. Dengan demikian, diharapkan para mahasantri memiliki kepekaan antar sesama demi mengentas egoisme diri.
Kepekaan sosial akan tumbuh setelah adanya kesadaran sosial. Kesadaran sosial atau empati hanya akan muncul bila seseorang memiliki kelembutan hati. “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”. (QS. Al-Hujurat: 10)
Rasulullah r juga bersabda,
عَنْ أَبِي حَمْزَةَ أَنَسِ بْنِ مَالِك رَضِيَ اللهُ عَنْهُ خَادِمِ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبَّ لِنَفْسِهِ. رواه البخاري و مسلم.
Dari Abu Hamzah Anas bin Malik t khodim Rasulullah r berkata, ''Rasulullah bersabda, tidak beriman seseorang kalau tidak mencintai orang lain seperti mencintai dirinya sendiri.'' (HR. Bukhori dan Muslim)
Setelah itu diperlukan upaya untuk merealisasikannya. Misalnya saja dengan itsar. Itsar mampu membasmi virus permusuhan, su’udzon, dan egoisme diri dengan izin Allah.
Allah U memuji kaum Anshor karena sifat itsar mereka dalan firmanNya,“Dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.” (QS. Al-Hasyr: 9)
Sikap husnudzon dan mudah memaafkan juga perlu dipupuk. Jika saudara kita melakukan suatu kesalahan, jangan serta merta menganggapnya sengaja berbuat. Segera maafkan ia sebelum ia memintanya. Mungkin saja ia lalai atau ada alasan lain yang membuatnya berbuat demikian. Cobalah melihat suatu permasalahan dari sudut pandang orang lain. Cobalah untuk ikut merasakan apa yang ia rasakan. Abaikan perbedaan yang ada,  karena perbedaan adalah suatu keniscayaan untuk saling melengkapi.
Karena tema pembahasan kepekaan sangat luas dan mencakup berbagai aspek. Hal-hal yang dipaparkan di atas hanyalah sebagai pengingat saja. Semoga peringatan ini bermanfaat kita.

Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa yang tidak peduli dengan nasib urusan kaum muslimin maka ia tidak termasuk golongan kaum muslimin," (HR Thabrani).

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © Najma Mujaddid
Blogger Theme by BloggerThemes | Theme designed by Jakothan Sponsored by Internet Entrepreneur