Selasa, 19 Agustus 2014

As-Sâqith lâ Ya'ûd



I.                   Pendahuluan


Segala puji bagi Allah U, shalawat serta salam kita hanturkan kepada nabi yang tidak ada nabi setelah beliau, nabi kita Muhammad r, kepada keluarga beliau, sahabat beliau, dan orang-orang yang mengikuti petunjuk beliau. Wa ba'd.
Sebagaimana kita ketahui, para mujtahid telah mengerahkan kemampuannya untuk mempermudah kita memahami syari'at Islam. Mujtahid menggali hukum dari sumber aslinya, baik al-Qur'an maupun as-Sunnah. Untuk memudahkan, mujtahid menyimpulkan permasalahan yang saling berhubungan dalam suatu kaidah. Kaidah inilah yang nantinya dapat menjadi patokan ketika meng-istinbath-kan suatu hukum.
Kaidah dalam ilmu fiqih terbagi menjadi dua, kaidah kubrâ dan kaidah sughrâ. Keberadaan seluruh kaidah kubrâ yang telah disepakati ulama' berbeda dengan keberadaan kaidah sughrâ sebagian disepakati oleh para ulama' dan sebagian lainnya tidak. Salah satu kaidah yang termasuk kaidah sughrâ adalah kaidah as-sâqith lâ ya'ûd. Apa sebenarnya makna kaidah ini? Dan bagaiman cara menerapkannya?

II.                As-Sâqith lâ Ya'ûd

A.                Makna Kaidah


Kaidah as-sâqith lâ ya'ûd semakna dengan kaidah al-ma'dûm lâ ya'ûd. Maksud dari as-sâqith di sini adalah hukum atau aturan yang telah sempurna. Lafadz as-sâqith merupakan kata sifat dari maushûf yang ditiadakan yaitu hukum atau aturan. Hukum atau aturan ini gugur sebab adanya perbuatan mukallaf yang menggugurkan atau ada pengguguran secara syar'i.
Maksud dari lâ ya'ûd adalah hukum yang gugur seakan-akan menjadi tidak ada dan tidak dapat diulang kembali kecuali jika ada penyebab baru untuk kembalinya hukum tersebut atau untuk hukum yang serupa dengannya. Kaidah ini masuk dalam banyak bab fiqih.

B.                 Hak-Hak yang Dapat Digugurkan


Dalam kaidah ini, sesuatu yang dapat digugurkan adalah hak-hak pribadi seperti khiyâr, syuf'ah, ibrâ' 'an ad-da'âwy, dan ibrâ' adz-dzimmah. Hak-hak yang dapat digugurkan hanyalah hak-hak hamba, bukan hak-hak Allah U, sebab hak-hak Allah U tidak dapat digugurkan oleh hamba. Selain hak-hak Allah U, hak a'yân (hak-hak yang berhubungan dengan harta kepemilikan) juga tidak dapat digugurkan sebab pengguguran hak a'yân itu tidak berlaku (dianggap).
Apabila orang yang dituduh memaafkan orang yang menuduhnya, maka had qadzaf (tuduhan) tidak akan dilaksanakan, berbeda ketika wali perempuan yang dizinahi memaafkan laki-laki yang menzinahi perempuan yang dalam perwaliannya, maka maafnya tidak dianggap. Had akan tetap diberlakukan bagi laki-laki pezina dan perempuan yang dizinahinya jika perempuan itu suka rela dizinahi, sebab had zina merupakan hak Allah U sehingga tidak dapat digugurkan. Adapun contoh dari pengguguran hak a'yân adalah ketika seorang ahli waris menggugurkan hak warisnya. Walaupun ia telah menggugurkan hak warisnya, ia akan tetap mendapat warisan sebab pewarisan adalah hak jabary (paksaan) yang tidak dapat dihindari.

C.                Tata Cara Pengguguran


Dalam penggunaan isqâth, ada barbagai cara yang berlaku. Di antaranya adalah al-isqâth ash-sharîh (pengguguran yang jelas), seperti jika seseorang yang menghutangi menggugurkan hutang orang yang berhutang padanya, isqâth bi al-iltizâm, isqâth bi al-isyârah,atau isqâth bi ad-dalâlah.

D.                Contoh dari Kaidah

 

1.                  Seseorang yang menjual sesuatu dan pembelinya belum membayar lunas memiliki hak untuk menahan dagangannya sampai pembeli melunasinya. Ketika penjual menyerahkan dagangan sebelum dilunasi pembeli, maka hak penjual untuk menahan barang gugur. Setelah penjual menggugurkan hak, ia tidak boleh meminta kembali dagangannya untuk ditahan sebab hak yang telah digugurkan olehnya tidak dapat kembali.

2.                  Seseorang yang membeli sesuatu sebelum melihatnya kemudian menjual, menggadaikan, atau menyewakannya, maka hak khiyâr-nya gugur. Ketika barangnya dikembalikan karena ada cacat, atau hutangnya telah lunas hingga barangnya diambil dari pegadaian, atau jika masa sewa barangnya telah habis, hak khiyâr-nya tidak dapat kembali sebab hak yang telah digugurkan tidak dapat kembali. Hukum ini juga berlaku untuk khiyâr yang lain seperti khiyâr dalam jual beli, pernikahan, syafa'at, dan lainnya, Ketika hak khiyâr telah gugur karena alasan syar'I, maka hak ini tidak dapat kembali lagi.

3.                   Begitu juga ketika ia diberi uang kurang dari hak yang seharusnya diterima kemudian ia merelakan sisanya, ia tidak boleh meminta sisa haknya dikemudian hari sebab hak yang telah digugurkan tidak dapat dikembalikan.

4.                   Jika seseorang memiliki hak untuk mengalirkan air atau lewat di tanah orang lain kemudian menggugurkan haknya atau mempersilahkan pemilik tanah untuk mendirikan bangunan atas tanah yang dimilikinya, maka haknya gugur dan tidak boleh dituntut kembali. Berbeda ketika pemilik saluran air atau tanah itu berkata, "Aku menggugurkan kepemilikanku," atau jika pemilik tanah membangun bangunan dengan ijin pemilik hak, maka pemilik hak boleh meminta kembali haknya sebab pengguguran tidak berlaku untuk hak a'yân.

5.                  Begitu juga ketika ahlu waris merelakan hak warisnya dikurangi untuk menambahi wasiat yang lebih dari sepertiga, maka hak mereka yang digunakan untuk menambahi wasiat ini tidak boleh diminta kembali sebab hak yang telah digugurkan tidak dapat kembali.

Ini pendapat madzhab yang memperbolehkan wasiat lebih dari sepertiga.

6.                    Jika qadhi telah memutuskan persaksian fulan tidak diterima sebab ia fasiq atau dusta kemudian ia bertobat, maka persaksiannya untuk kejadian ini tetap tidak diterima.

7.                  Sesuatu sudah tidak akan dihukumi najis jika najisnya telah hilang walaupun mensucikannya tidak menggunakan zat cair. Ketika kulit telah disamak dengan dijemur di bawah sinar matahari, mani telah dikerik dari baju, tanah yang terkena najis sudah kering, atau sepatu yang telah digosok ke tanah terkena air yang suci, najisnya tidak akan kembali.

8.                  Iqâlah (membatalkan akad yang telah disepakati dengan ridha kedua belah pihak) setelah adanya iqâlah tidak sah sebab hak penyerahan harta akan gugur dengan adanya iqâlah. Jika terjadi dua iqâlah, otomatis ridha kedua belah pihak yang telah digugurkan pada iqâlah pertama kembali, padahal hak yang telah digugurkan tidak dapat kembali.

III.             Penutup


Setelah membahas makna dan cakupam kaidah ini, dapat disimpulkan bahwa:
·         Kaidah ini masuk dalam banyak bab fiqih.
·         Nama lain dari kaidah as-sâqith lâ ya'ûd adalah al-ma'dûm lâ ya'ûd.
·         Makna dari kaidah ini adalah hak yang telah digugurkan tidak dapat kembali.
·         Hak yang dapat digugurkan adalah hak-hak hamba.
·         Hak yang tidak dapat digugurkan adalah hak-hak Allah U dan hak a'yân.
·         Untuk menggugurkan hukum dapat digunakan al-isqâth ash-sharîh, isqâth bi al-iltizâm, isqâth bi al-isyârah,atau isqâth bi ad-dalâlah. Wallahu A'lam Bish Shawâb.






























Referensi:

Al-Burnu, Muhammad Shidqi bin Ahmad, 1404 H/ 1983 M. Al-Wajîz fî Îdhâhi Qawâid Al-Fiqh Al-Kulliyyah. Beirut: Mu'asasah Ar-Risâlah.

Al-Warkah, At-Tihami, 2011. Bahts Haul Qâidah As-Sâqith lâ Ya'ûd. http://thamimaster.blogspot.com/2011/03/blog-post_4709.html, diakses pada 17 Februari 2014 pukul 19.55.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © Najma Mujaddid
Blogger Theme by BloggerThemes | Theme designed by Jakothan Sponsored by Internet Entrepreneur