I.
Pendahuluan
Segala puji bagi Allah U, shalawat serta salam kita hanturkan kepada nabi yang tidak ada
nabi setelah beliau, nabi kita Muhammad r, kepada keluarga beliau, sahabat beliau, dan orang-orang yang
mengikuti petunjuk beliau. Wa ba'd.
Sebagaimana kita ketahui, para mujtahid telah mengerahkan
kemampuannya untuk mempermudah kita memahami syari'at Islam. Mujtahid menggali
hukum dari sumber aslinya, baik al-Qur'an maupun as-Sunnah. Untuk memudahkan,
mujtahid menyimpulkan permasalahan yang saling berhubungan dalam suatu kaidah.
Kaidah inilah yang nantinya dapat menjadi patokan ketika meng-istinbath-kan
suatu hukum.
Kaidah dalam ilmu fiqih terbagi menjadi dua, kaidah kubrâ dan
kaidah sughrâ. Keberadaan seluruh kaidah kubrâ yang telah
disepakati ulama' berbeda dengan keberadaan kaidah sughrâ sebagian
disepakati oleh para ulama' dan sebagian lainnya tidak. Salah satu kaidah yang
termasuk kaidah sughrâ adalah kaidah as-sâqith lâ ya'ûd. Apa
sebenarnya makna kaidah ini? Dan bagaiman cara menerapkannya?
II.
As-Sâqith lâ Ya'ûd
A.
Makna Kaidah
Kaidah
as-sâqith lâ ya'ûd semakna dengan kaidah al-ma'dûm lâ ya'ûd. Maksud
dari as-sâqith di sini adalah hukum atau aturan yang telah sempurna.
Lafadz as-sâqith merupakan kata sifat dari maushûf yang
ditiadakan yaitu hukum atau aturan. Hukum atau aturan ini gugur sebab adanya
perbuatan mukallaf yang menggugurkan atau ada pengguguran secara syar'i.
Maksud
dari lâ ya'ûd adalah hukum yang gugur seakan-akan menjadi tidak ada dan
tidak dapat diulang kembali kecuali jika ada penyebab baru untuk kembalinya
hukum tersebut atau untuk hukum yang serupa dengannya. Kaidah ini masuk dalam
banyak bab fiqih.
B.
Hak-Hak yang Dapat Digugurkan
Dalam
kaidah ini, sesuatu yang dapat digugurkan adalah hak-hak pribadi seperti khiyâr,
syuf'ah, ibrâ' 'an ad-da'âwy, dan ibrâ' adz-dzimmah. Hak-hak yang
dapat digugurkan hanyalah hak-hak hamba, bukan hak-hak Allah U, sebab hak-hak Allah U tidak dapat digugurkan oleh hamba. Selain hak-hak Allah U, hak a'yân (hak-hak yang berhubungan dengan harta
kepemilikan) juga tidak dapat digugurkan sebab pengguguran hak a'yân itu
tidak berlaku (dianggap).
Apabila
orang yang dituduh memaafkan orang yang menuduhnya, maka had qadzaf (tuduhan)
tidak akan dilaksanakan, berbeda ketika wali perempuan yang dizinahi memaafkan
laki-laki yang menzinahi perempuan yang dalam perwaliannya, maka maafnya tidak
dianggap. Had akan tetap diberlakukan bagi laki-laki pezina dan perempuan yang
dizinahinya jika perempuan itu suka rela dizinahi, sebab had zina merupakan hak
Allah U sehingga tidak dapat digugurkan. Adapun contoh dari pengguguran
hak a'yân adalah ketika seorang ahli waris menggugurkan hak warisnya.
Walaupun ia telah menggugurkan hak warisnya, ia akan tetap mendapat warisan
sebab pewarisan adalah hak jabary (paksaan) yang tidak dapat dihindari.
C.
Tata Cara Pengguguran
Dalam
penggunaan isqâth, ada barbagai cara yang berlaku. Di antaranya adalah al-isqâth
ash-sharîh (pengguguran yang jelas), seperti jika seseorang yang
menghutangi menggugurkan hutang orang yang berhutang padanya, isqâth bi
al-iltizâm, isqâth bi al-isyârah,atau isqâth bi ad-dalâlah.
D.
Contoh dari Kaidah
1.
Seseorang
yang menjual sesuatu dan pembelinya belum membayar lunas memiliki hak untuk
menahan dagangannya sampai pembeli melunasinya. Ketika penjual menyerahkan
dagangan sebelum dilunasi pembeli, maka hak penjual untuk menahan barang gugur.
Setelah penjual menggugurkan hak, ia tidak boleh meminta kembali dagangannya
untuk ditahan sebab hak yang telah digugurkan olehnya tidak dapat kembali.
2.
Seseorang
yang membeli sesuatu sebelum melihatnya kemudian menjual, menggadaikan, atau
menyewakannya, maka hak khiyâr-nya gugur. Ketika barangnya dikembalikan
karena ada cacat, atau hutangnya telah lunas hingga barangnya diambil dari
pegadaian, atau jika masa sewa barangnya telah habis, hak khiyâr-nya
tidak dapat kembali sebab hak yang telah digugurkan tidak dapat kembali. Hukum
ini juga berlaku untuk khiyâr yang lain seperti khiyâr dalam jual
beli, pernikahan, syafa'at, dan lainnya, Ketika hak khiyâr telah gugur
karena alasan syar'I, maka hak ini tidak dapat kembali lagi.
3.
Begitu juga
ketika ia diberi uang kurang dari hak yang seharusnya diterima kemudian ia
merelakan sisanya, ia tidak boleh meminta sisa haknya dikemudian hari sebab hak
yang telah digugurkan tidak dapat dikembalikan.
4.
Jika seseorang
memiliki hak untuk mengalirkan air atau lewat di tanah orang lain kemudian
menggugurkan haknya atau mempersilahkan pemilik tanah untuk mendirikan bangunan
atas tanah yang dimilikinya, maka haknya gugur dan tidak boleh dituntut
kembali. Berbeda ketika pemilik saluran air atau tanah itu berkata, "Aku
menggugurkan kepemilikanku," atau jika pemilik tanah membangun bangunan
dengan ijin pemilik hak, maka pemilik hak boleh meminta kembali haknya sebab
pengguguran tidak berlaku untuk hak a'yân.
5.
Begitu juga
ketika ahlu waris merelakan hak warisnya dikurangi untuk menambahi wasiat yang
lebih dari sepertiga, maka hak mereka yang digunakan untuk menambahi wasiat ini
tidak boleh diminta kembali sebab hak yang telah digugurkan tidak dapat
kembali.
Ini
pendapat madzhab yang memperbolehkan wasiat lebih dari sepertiga.
6.
Jika
qadhi telah memutuskan persaksian fulan tidak diterima sebab ia fasiq atau
dusta kemudian ia bertobat, maka persaksiannya untuk kejadian ini tetap tidak
diterima.
7.
Sesuatu
sudah tidak akan dihukumi najis jika najisnya telah hilang walaupun
mensucikannya tidak menggunakan zat cair. Ketika kulit telah disamak dengan
dijemur di bawah sinar matahari, mani telah dikerik dari baju, tanah yang
terkena najis sudah kering, atau sepatu yang telah digosok ke tanah terkena air
yang suci, najisnya tidak akan kembali.
8.
Iqâlah (membatalkan akad yang telah disepakati dengan ridha kedua belah pihak)
setelah adanya iqâlah tidak sah sebab hak penyerahan harta akan
gugur dengan adanya iqâlah. Jika terjadi dua iqâlah, otomatis ridha
kedua belah pihak yang telah digugurkan pada iqâlah pertama kembali,
padahal hak yang telah digugurkan tidak dapat kembali.
III.
Penutup
Setelah
membahas makna dan cakupam kaidah ini, dapat disimpulkan bahwa:
·
Kaidah
ini masuk dalam banyak bab fiqih.
·
Nama
lain dari kaidah as-sâqith lâ ya'ûd adalah al-ma'dûm lâ ya'ûd.
·
Makna
dari kaidah ini adalah hak yang telah digugurkan tidak dapat kembali.
·
Hak
yang dapat digugurkan adalah hak-hak hamba.
·
Hak
yang tidak dapat digugurkan adalah hak-hak Allah U dan hak a'yân.
·
Untuk
menggugurkan hukum dapat digunakan al-isqâth ash-sharîh,
isqâth bi al-iltizâm, isqâth bi al-isyârah,atau isqâth bi ad-dalâlah.
Wallahu A'lam Bish Shawâb.
Referensi:
Al-Burnu, Muhammad Shidqi bin Ahmad, 1404 H/ 1983 M. Al-Wajîz
fî Îdhâhi Qawâid Al-Fiqh Al-Kulliyyah. Beirut:
Mu'asasah Ar-Risâlah.
Al-Warkah, At-Tihami, 2011. Bahts Haul Qâidah As-Sâqith lâ
Ya'ûd. http://thamimaster.blogspot.com/2011/03/blog-post_4709.html,
diakses pada 17 Februari 2014 pukul 19.55.
0 komentar:
Posting Komentar