I.
Pendahuluan
Rasulullah r bersabda,
إِنَّ
اللهَ تَعَالَى إِذَا أَرَادَ بِعَبْدٍ خَيْرًا عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوْبَةَ فِي
الدُّنْيَا وَ
إِذَا أَرَادَ بِعَبْدٍ شَرًّا أَمْسَكَ عَلَيْهِ
بِذَنْبِهِ، حَتَّى يُوَافِيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. رواه الحاكم.
"Sesungguhnya Allah Ta'ala
jika menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, maka Allah akan mempercepat
hukumannya di dunia; dan jika Allah menghendaki keburukan bagi hamba-Nya, maka
Allah akan menahan hukuman atas dosa-dosanya sampai hari kiamat." (H.R.
Al-Hakim)
Ketika Allah U menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, Allah U akan menyegerakan hukumannya di dunia. Ketika Allah U menghendaki keburukan bagi hamba-Nya, maka Allah U akan membiarkannya melakukan apa saja yang diinginkannya. Mereka
berbuat sesukanya karena tidak dihisab di dunia. Mereka tidak dihisab di dunia
tetapi di akirat hisab mereka amat berat.
Jika
kita katakan bahwa Allah U menghendaki keburukan bagi hamba-Nya dan karena hal itu ia
dimasukkan ke neraka, apakah ini artinya Allah U kejam?
II.
Allah Menghendaki Keburukan
Allah U telah menciptakan sebagian manusia taat dan sebagian taat kemudian
Dia menghukum yang tidak taat. Ketika kita katakan bahwa itu adalah kekejaman,
maka kita seakan menghakimi tindakan Allah U dengan pikiran dan akal kita. Ini adalah merupakan salh satu faham
Mu'tazilah yang berorientasi lebih pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari
Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Allah U tidak berlaku kejam. Kekejaman membutuhkan adanya pelanggaran hak,
sementara Allah U memiliki hak untuk melakukan apa pun, dan ciptaan-Nya tidak berhak
atas-Nya. Allah U berfirman,
"Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan
merekalah yang akan ditanyai."
(Q.S. Al-Anbiya': 23)
Maka ketika makhluk membuat
penilaian dan menghakimi tindakan Allah U, itu adalah bentuk pemberontakan kepada Allah U. Jadi, jika ada pertanyaan apakah Allah U menghendaki terjadinya keburukan, maka jawabannya adalah bahwa
Allah U memang menghendaki keburukan. Allah U menghendaki adanya keburukan secara kauniyyah/qadariyyah, namun
Ia tidak menyukai dan meridhainya bahkan tidak memerintahkannya. Justru Ia
membenci, memurkai, mengharamkan, dan melarangnya. Inilah pendapat para ulama
As-Salaf secara menyeluruh.
Iradah (kehendak Allah U) Kauniyyah mencakup segala sesuatu termasuk juga maksiatnya
orang yang bermaksiat. Jadi, dalam iradah kauniyyah tidak dibedakan
antara hal yang dicintai Allah U dan yang tidak dicintai-Nya. Adapun iradah syar'iyyah, maka
iradah ini hanya mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai-Nya.
Tidak ada satu pun kejadian yang
terjadi di seluruh alam semesta ini yang di luar kehendak Allah U secara kauniyyah.
Iradah Kauniyyah ini disebut juga dengan Al-Masyi'ah. Sebagaimana
yang akrab di lidah kaum muslimin,
مَا
شَاءَ اللهُ كَانَ وَ مَا لَمْ يَشَاءْ لَمْ يَكُنْ.
"Apabila Allah menghendaki, akan terjadi dan apabila Allah
tidak menghendaki, tidak akan terjadi."
Yaitu seperti tersebut dalam firman
Allah U,
"Barangsiapa
yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia
melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang
dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi
sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa
kepada orang-orang yang tidak beriman."
(Q.S. Al-An'am: 125)
Juga
dalam firman-Nya,
"Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya." (Q.S. Al-Baqarah: 253)
Adapun yang dimaksud dengan iradah
syar'iyyah adalah seperti yang ada dalam firman Allah U,
"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu." (Q.S.
Al-Baqarah: 185)
Demikian juga firman-Nya,
"Dan Allah hendak menerima taubatmu, sedang orang-orang
yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya
(dari kebenaran). Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia
dijadikan bersifat lemah." (Q.S.
An-Nisa': 27-28)
Kehendak
inilah yang umum disebut orang bila ada yang berbuat kejahatan,
هَذَا يَفْعَلُ مَا لَا يُرِيْدُهُ اللهُ.
"Orang itu melakukan hal yang tidak
dikehendaki Allah."
Artinya,
yang tidak Allah U sukai dan tidak Allah U ridhai.
Dalam
diri seorang mukmin, kadang terkumpul dua bentuk kehendak itu. Kadang Allah U menghendaki pada dirinya keimanan
dalam arti kauni dan juga dalam pengertian syar'i. Adapun orang
kafir, Allah U menghendaki pada dirinya keimanan
secara syar'i, namun menghendaki pada dirinya kekufuran secara kauni.
Segala
sesuatu telah ditakdirkan, termasuk hal-hal yang menyebabkannya. Sebagai
contoh, seseorang menghadapi sesuatu yang menakutkan kemudian dia berdo'a
kepada Allah U, selanjutnya Allah U selamatkan dia. Do'anya kepada
Allah U merupakan sebab dan Allah U menyelamatkan dirinya adalah
akibat. Semuanya, sebab dan akibat, sudah ditakdirkan oleh Allah U.
Contoh
lain, ada seseorang yang akan safar bingung untuk memilih penerbangan pagi atau
malam hari. Kemudian dia meminta pertimbangan temannya yang menganjurkan
penerbangan malam. Ia pun mengambil pilihan penerbangan malam atas rekomendasi
temannya karena penerbangan malam maskapainya lebih bagus dan teruji dengan
baik sedangkan yang pagi hari tidak demikian. Ternyata beberapa waktu kemudian
diketahui bahwa semua penumpang yang ikut penerbangan pagi itu meninggal karena
kecelakaan pesawat. Pesawat yang dioperasikan pada penerbangan pagi sebenarnya
tidak layak untuk terbang.
Semua
itu sudah tertulis dalam takdir secara rinci dan tidak akan meleset sedikit
pun. Bahwa ia awalnya akan bingung, kemudian meminta pertimbangantemannya,
kemudian temannya memberi rekomendasi, dan ia memilih sesuai saran temannya,
dan kemudian ia selamat, semuanya tertulis dalam takdir.
Allah
U berfirman,
"Dan segala sesuatu yang telah mereka perbuat tercatat
dalam buku-buku catatan. Dan segala (urusan) yang kecil maupun yang besar
adalah tertulis." (Q.S. Al-Qamar:
52-53)
Umar bin Al-Khathab t bersama para shahabat nabi lainnya pernah akan masuk ke negeri
Syam yang terkena taun. Umar t kemudian bermusyawarah dengan para shahabat yang lain. Ada yang
menganjurkan terus masuk. Ada yang menganjurkan kembali ke Madinah. Umar t memutuskan untuk kembali ke Madinah. Sebagian orang ada yang
mengatakan, "Apakah engkau lari dari takdir Allah, wahai Amirul
Mukminin?"
Umar
t menjawab dengan jawaban yang sangat
baik dan menunjukkan pemahaman yang benar tentang takdir.
نَعَمْ نَفِرُّ مِنْ قَدَر ِاللهِ إِلَى قَدَرِ اللهِ.
"Ya, kita lari dari takdir Allah menuju
takdir Allah."
Kemudian
Umar t berkata,
أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَتْ لَكَ إِبِلٌ فَهَبَطَتْ وَادِياً لَهُ عُدْوَتَانِ
إِحْدَاهُمَا خَصْبَةٌ وَالْأُخْرَى جَدْبَةٌ أَلَيْسَ إِنْ رَعَيْتَ الْخَصْبَةَ
رَعَيْتَهَا بِقَدَرِ اللهِ وَإِنْ رَعَيْتَ الْجَدْبَةَ رَعَيْتَهَا بِقَدَرِ اللهِ؟
رواه البخاري و مسلم.
"Bagaimana pendapatmu jika engkau
memiliki unta yang turun ke lembah yang memiliki dua sisi. Satu sisi subur dan
yang satu tandus. Bukankah jika engkau menggembalakan di tempat subur, engkau
gembalakan berdasarkan takdir Allah. Dan jika engkau gembalakan di tempat
tandus, engkau gembalakan dengan takdir Allah?" (H.R. Al-Bukhari dan
Muslim)
Dalam hadits lain
dinyatakan,
سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ، يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرَأَيْتَ رُقًى نَسْتَرْقِيْهَا
وَدَوَاءً نَتَدَاوَى بِهِ وَتُقَاةً نَتَقِيْهَا هَلْ تَرُدُّ مِنْ قَدَرِ اللهِ
شَيْئًا ؟ قَالَ هِيَ مِنْ قَدَرِ اللهِ. رواه الترمذي و ابن ماجه.
Rasulullah r ditanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu mengenai ruqyah
yang kita lakukan, pengobatan yang kita upayakan, dan tameng yang kita gunakan
untuk melindungi diri? Apakah semua itu bisa menolak takdir Allah?" Rasul r bersabda, "Itu (semua) termasuk takdir Allah." (H.R.
At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Hal ini menunjukkan bahwa hasil dan penyebabnya telah ditakdirkan
oleh Allah U. Kita tidak tahu apa yang ditakdirkan Allah U sebelum terjadi. Karenanya, yang harus dilakukan adalah berusaha
keras dengan memohon pertolongan Allah U berdasarkan petunjuk Nabi r dan para shahabatnya. Ketika sudah terjadi, jika tercapai
keberhasilan, jangan merasa berbangga diri dengan melupakan Allah U. Ingatlah bahwa itu karena pertolongan Allah U. Jika terjadi kegagalan atau keburukan, jangan larut dalam
keputusasaan. Ingatlah, bahwa itu telah ditakdirkan oleh-Nya.
"Tiada
suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri
melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami
jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang
luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang
diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi
membanggakan diri."
(Q.S. Al-Hadid: 22-23)
Ikrimah berkata, "Perasaan
senang dan sedih tidak diciptakan begitu saja, tetapi kegembiraan dicipta agar
kita bersyukur dan kesedihan dicipta agar kita bersabar."
Al-Muzani Rahimahullah kemudian
berkata, "Mereka (para makhluk) tidak mempunyai kekuasaan untuk mendapat
manfaat dalam berbuat ketaatan. Mereka juga tidak mampu untuk menolak hal-hal
yang bisa memalingkan mereka pada kemaksiatan.
Semua yang ditakdirkan pasti akan
terjadi. Namun, sebelum sesuatu terjadi, manusia harus berupaya memohon
pertolongan kepada Allah U. Manusia memiliki kehendak, namun
kehendaknya di bawah kehendak Allah U.
Jika seseorang tergelincir dalam
perbuatan dosa, hendaknya ia bertaubat kepada Allah U dengan sebenar-benar taubat,
bertekad kuat untuk tidak mengulanginya lagi, kemudian menyesali perbuatannya, tetapi jangan larut dalam perasaan
bersalah yang akan menggiringnya pada sikap putus asa dari rahmat Allah U. Yakinlah bahwa itu semua telah
ditakdirkan. Kita tidak dapat menghindar.
Suatu saat, Allah U dengan kuasa-Nya mempertemukan Nabi
Adam u dengan Musa u. Nabi Musa u berkata, "Wahai Adam, engkau
adalah ayah kami, dan (dengan sebab perbuatanmu) engkau keluarkan kami dari
surga." Nabi Adam u kemudian menjawab,
يَا مُوسَى اصْطَفَاكَ اللَّهُ
بِكَلَامِهِ وَخَطَّ لَكَ بِيَدِهِ أَتَلُومُنِي عَلَى أَمْرٍ قَدَّرَهُ اللَّهُ
عَلَيَّ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَنِي بِأَرْبَعِينَ سَنَةً. رواه البخاري و مسلم.
"Wahai Musa, engkau adalah orang yang terpilih
sehingga berbicara (langsung) dengan Allah, dan Allah tuliskan (Taurat) untukmu
dengan Tangan-Nya. Apakah engkau akan mencela aku atas perkara yang telah Allah
takdirkan untukku sebelum 40 tahun Dia menciptakanku?"
Nabi Muhammad r yang mengisahkan hal itu kemudian menyatakan bahwa Nabi Adam u benar dalam hujjahnya dan mengalahkan Nabi Musa u. (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)
Adam u benar karena beliau telah menyesali perbuataannya. Beliau u benar-benar bertaubat hingga kemudian berdo'a dalam do'a yang
diabadikan dalam Al-Qur'an,
"Keduanya berkata, "Ya Rabb Kami,
kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami
dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang
merugi." (Q.S.
Al-A'raf: 23)
Setelah itu beliau u meyakini bahwa apa yang telah
ditakdirkan Allah U tidak akan bisa luput darinya
sedikit pun. Sikap Nabi Adam u tersebut adalah benar. Di kemudian
hari, sikap nabi Adam u bisa menjadi contoh bagi
orang-orang beriman setelahnya.
III.
Penutup
Ketika
muncul pertanyaan apakah Allah U menghendaki keburukan, maka jawabannya adalah Allah U menghendaki keburukan secara kauniyyah, tetapi tidak
menghendakinya secara syar'iyyah. Iradah Kauniyyah adalah kehendak Allah
U yang berlaku secara umum, baik hal-hal yang dikehendaki Allah U maupun yang tidak dikehendaki-Nya. Iradah Syar'iyyah adalah
kehendak Allah U terkait dengan hal-hal yang dicintai dan diridhai Allah U saja.
Ketika
Allah U menghendaki keburukan, bukan berarti Allah U kejam. Kekejaman menuntut adanya ketidakadilan, sedangkan Allah U Maha Adil. Selain ke-Mahaadilan, Allah U juga memiliki hak penuh untuk mengatur seluruh ciptaannya. Allah U berfirman,
"Dia tidak ditanya tentang apa yang
diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai." (Q.S. Al-Anbiya': 23)
Sebagian
orang memiliki anggapan yang salah dalam memahami masalah takdir. Mereka hanya
pasrah pada takdir tanpa melakukan usaha sama sekali. Ini merupakan suatu
kesalahan, sebab Allah U telah menakdirkan hasil bersama sebabnya. Ketika kita sudah
berusaha mengambil sebab dan tidak mendapatkan apa yang kita inginkan, jangan
berputus asa. Sebaliknya, ketika kita mendapatkan apa yang kita inginkan,
jangan sampai kita berbangga diri. Semuanya sudah merupakan ketetapan Allah U. Wallahu A'lam bish Shawab.
Daftar
Pustaka:
Ad-Dimasyqi, Imaduddin Abu Al-Fida'
Isma'il bin Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim (Cairo: Al-Maktab
At-Taufiqiyah)
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, Takhrij
Ahadits Musykilah Al-Faqr wa Kaifa 'Alajaha Al-Islam
Al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad
bin Isma'il bin Ibrahim bin Al-Mughirah, Al-Jami' Al-Musnad Ash-Shahih
Al-Mukhtashar min Umur Rasulillah r wa Sunanihi wa Ayyamihi (Dar Thawq An-Najah, cet: 1, 1422 H)
Al-Ghunaimi, Abdul Akhir Hammad, Al-Minhah
Al-Ilahiyah fi Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah (Beirut: Dar Ash-Shahabah, cet:
1, 1416 H/1995 M)
Al-Hakim, Abu Abdullah Muhammad bin
Abdullah bin Muhammad, Al-Mustadrak bi Ta'lîq Adz-Dzahabî ta'lîq Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad bin
Ahmad bin Utsman bin Qaimaz Adz-Dzahabi, (Al-Maktabah Asy-Syamilah)
Al-Muzanni, Isma'il bin Yahya, Isma'il
bin Yahya Al-Muzanni wa Risalatuhu Syarh As-Sunnah. pdf, tahqiq: Jammal
'Azzun
Al-Qazwaini, Muhammad bin Yazid Abu
Abdullah, Sunan Ibnu Majah (Beirut: Dar Al-Fikr)
An-Nablusi, Muhammad Ratib,
http://www.nabulsi.com/blue/ar/art.php?art=6631&id=44&sid=46&ssid=48&sssid=49,
diakses pada 26 September 2014 pukul 20.00.
An-Naisaburi, Abu Al-Hasan Muslim
bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi, Al-Jami' Ash-Shahih Al-Musama Shahih
Muslim (Beirut: Dar Al-Jail dan Dar Al-Afaq Al-Jadidah)
Asy-Syarhastani, Muhammad bin Abdul
Karim bin Abu Bakr Ahmad, Al-Milal wa An-Nihal ( Beirut: Dar
Al-Ma'rifah, 1404 H)
As-Sulami, Muhammad bin Isa Abu Isa
At-Tirmidzi, Al-Jami' Ash-Shahih Sunan At-Tirmidzi (Beirut: Dar Ihya'
At-Turats Al-Arabi)
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia ( Jakarta: Balai Pustaka, 2002)
Hakimmi, Hafizh bin Ahmad, Ma'arij
Al-Qabul bi Syarh Sullam Al-Wushul (Beirut: Dar Al-Hadits, 1427 H/2006 M)
Iwaji, Ghalib bin Ali, Firaq
Mu'ashirah (Al-Maktabah Asy-Syamilah)