Sabtu, 23 November 2013

Hukum Fidyah


Makna Fidyah
Sesuatu yang diberikan untuk menebus sesuatu. Di antaranya adalah tebusan tawanan.
Fidyah Haji
Ada beberapa hal yang tidak boleh dikerjakan semasa ihram. Jika seorang yang berihram melakukan salah satu dari perbuatan tersebut, ia wajib membayar fidyah. Fidyah antara satu kesalahan dengan kesalahan yang lain berbeda-beda. Berikut pembagiannya menurut fidyah yang harus ditebusnya.
·         Kesalahan yang tidak ada fidyahnya, yaitu akad nikah.
·         Kesalahan yang fidyahnya besar, yaitu jimak.
·         Kesalahan yang fidyahnya dengan mengganti, yaitu berburu.
·         Kesalahan yang mengharuskan adanya fidyah adza, yaitu kesalahan-kesalahan lain selain yang tersebut di atas.
1)      Fidyah Adza
Yaitu puasa tiga hari atau memberi makan enam orang miskin. Tiap orang miskin setengah sha'. Bisa juga dengan menyembelih kambing. Dasarnya adalah firman Allah Ta'ala,
   
"Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), Maka wajiblah atasnya berfidyah. Yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban." (Q.S. Al-Baqarah: 196)
Jadi fidyah adza boleh memilih. Sedangkan kesalahan-kesalahan yang mengharuskan fidyah adza adalah:
*        Mencukur Rambut
Dalilnya adalah hadits Ka'ab bin 'Ujrah t yang menyatakan bahwa ia memiliki gangguan di kepalanya. Kemudian ia menghadap Rasulullah r, sedang kutu bertebaran di wajahnya. Rasulullah r pun bersabda,
مَا كُنْتُ أَرَى أَنَّ الجُهْدَ قَدْ بَلَغَ مِنْكَ مَا أَرَى، أَتَجِدُ شَاةً؟
"Aku tidak melihat engkau telah bersungguh-sungguh, sungguh aku tidak melihat. Apakah kamu mendapati seekor kambing?"
"Tidak."
Kemudian turunlah ayat,

   
"Maka wajiblah atasnya berfidyah. Yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban." (Q.S. Al-Baqarah: 196)
هُوَ صَوْمُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ أَوْ إِطْعَامِ سِتَّةِ مَسَاكِيْنَ نِصْفُ صَاعٍ لِكُلِّ مِسْكِيْنٍ.
"Yaitu puasa tiga hari atau member makan enam orang miskin. Tiap orangnya setengah sha'."
Atau dalam riwayat lain Rasulullah r bersabda kepada Ka'ab t,
كَأَنَّ هَوَامُكَ تُؤْذِيْكَ؟
"Sepertinya kebingunganmu mengganggumu."
"Tentu."
فَاحْلَقْهُ، وَ اذْبَحْ  شَاةً، أَوْ صَامَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ، أَوْ تَصَدَّقْ بِثَلَاثَةِ آصَعٍ مِنْ تَمْرٍ بَيْنَ سِتَّةِ مَسَاكِيْنَ.
"Cukurlah rambutmu, dan sembelihlah kambing, atau puasa tiga hari, atau bersedekah dengan tiga sha' kurma kepada enam orang miskin." (H.R. Bukhari dan Muslim)
*        Memotong Kuku dan Memakai Minyak Wangi
Ulama' mewajibkan fidyah atas kedua pelanggaran di atas dengan mengqiyaskan keduanya dengan mencukur rambut.
Asy-Syinqithy berkata, "Tidak ada dalil untuk pembayaran fidyah atas dua perkara di atas, kecuali pengqiyasan kepada mencukur rambut yang tertera dalam ayat fidyah."
Beliau juga berkata, "Ketahuilah bahwa mereka bersepakat atas wajibnya fidyah atas pemakaian parfum. Dan dalilnya tidak ada dalam Al-Kitab maupun As-Sunnah. Tetapi pemakaian parfum diqiyaskan pada mencukur rambut yang tertera dalam ayat fidyah."
Menurut penulis "Tamam Al-Minnah", yang rajih adalah orang yang melanggar ketentuan di atas tidak wajib fidyah. Ia hanya harus mengghilangkan jika memungkinkan kemudian bertaubat kepada Allah U jika ia melakukannya dengan sengaja. Tetapi sebagian yang bersepakat atas wajibnya fidyah atas pelaku pelanggaran ini menjadikan fidyah sebagai suatu kehati-hatian. Wallahu A'lam.
PERHATIAN:
*      Puasa tidak harus berturut-turut.
*      Kambing harus jenis kambing kacang atau domba, jantan atau betina.
*      Puasanya boleh kapan saja. Tidak harus pada hari-hari haji.
*      Menyembelih kambing atau member makan orang miskin tidak harus pada saat ihram.
*      Ia tidak boleh memakan fidyahnya. Wallahu A'lam.
*      Fidyah hanya berlaku bagi yang mencukur rambut secara keseluruhan karena adanya gangguan. Tidak berlaku bagi yang hanya mencukur sebagian rambut saja. Begitu juga tidak berlaku bagi yang mencukur rambut lain selain rambut kepala.
Setelah para Ulama' menyebutkan pendapat-pendapat mereka tentang mencukur sebagian rambut kepala atau mencukur rambut bagian tubuh yang lain, Asy-Syinqithy berkata, "Setelah aku mengetahui perkataan para A'imah mengenai mencukur rambut, sesungguhnya aku tidak mendapati satu pun nashnya dalam Al-Kitab maupun As-Sunnah. Yang paling tampak, sesungguhnya mereka mengqiyaskan rambut tubuh dengan rambut kepala dengan seluruh yang hal yang berhubungan dengan pencukuran."
*      Jika ia mencukur rambutnya sebab lupa, maka tidak apa-apa.

2)      Fidyah Berat
Tidak ada yang dikenai fidyah yang berat kecuali jimak. Dan ada beberapa hal yang berhubungan dengan pelanggaran berat ini.
*        Rusaknya Haji
Ada perincian mengenai rusaknya haji. Kesimpulannya seperti berikut:
*      Jika ia jimak sebelum wuquf di Arafah, maka hajinya batal menurut Ulama' yang empat.
*      Jika jimaknya setelah wuquf di Arafah dan sebelum tahallul yang pertama, haji batal menurut tiga Imam. Tetapi tidak batal menurut Imam Abu Hanifah.
*      Jika jimaknya setelah tahallul pertama sebelum tahallul kedua, hajinya tidak batal menurut Ulama' yang empat.
*        Yang Sudah Berlalu dari Rusaknya Haji
Rusaknya haji tidak menjadi penghalang untuk memyempurnakan haji (melakukan manasik selanjutnya).
*        Ia Wajib Membayar Fidyah
Menurut tiga Imam fidyahnya unta. Tetapi menurut Hanafiyah fidyahnya kambing jika ia jimak tahallul pertama dan unta jika jimak sebelum tahallul pertama.
*      Perempuan hukumnya seperti laki-laki jika ia bersedia untuk melayani suaminya. Tetapi jika ia dipaksa, maka ia tidak harus membayar fidyah.
Madzhab Dhahiriyah lewat pendapat Ibnu Hazm menyatakan bahwa jika orang yang ihram jimak, maka hajinya batal. Tetapi batalnya tidak berkelanjutan. Ia harus ihram lagi dari tempatnya. Jika ia dapat menyempurnakan haji, maka ia harus melakukannya. Ini berlaku jika jimaknya sebelum wuquf di Arafah. Setelah jimak ia harus berniat haji kembali dan meneruskan manasik. Jika ia tidak menyempurnakan haji, mak ia telah berma'shiat dan urusannya ada pada Allah U. Tidak ada petunjuk mengenai itu sama-sekali kecuali bahwasanya ia belum berhaji atau berumrah sama sekali. Jadi ia harus mengulang haji dan umrahnya.
Pendapat Ibnu Hazm kuat lagi dapat dipertimbangkan. Seandainya ia menetapkan pendapatnya dengan riwayat dari Ibnu Abbas t sebagaiman yang dilakukan para Imam tentu pendapat beliau akan lebih kuat. Sayangnya tidak ada dalil dari Al-Kitab maupun As-Sunnah yang disebutkan.
Asy-Syinqithy berkata, "Ketahuilah bahwa puncak dari yang ditunjukkan oleh dalil adalah bahwa itu –yaitu jimak- tidak diperbolehkan dalam ihram. Sebab Allah U telah menyebutkannya dalam firmanNya,
4   
"Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji." (Q.S. Al-Baqarah: 197)
Sedangkan pendapat Ulama' mengenai rusak atau tidaknya haji tidak berdasar pada Al-Qur'an maupun As-Sunnah, tetapi berhujjah pada atsar yang diriwayatkan dari para sahabat."
Pengarang "Tamam Al-Minnah" mengatakan ada atsar yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqy beserta sanadnya pula. Ketika itu ada seorang laki-laki yang mendatangi Abdullah bin 'Amr t dan bertanya bagaiman jika bersetubuh dengan istrinya ketika sedang ihram? Abdullah bin 'Amr t memerintahkannya untuk mendatangi Abdullah bin 'Umar dan menanyakan hal ini kepada beliau. Ibnu Umar berkata, "Hajinya batal."
"Lalu apa yang harus aku lakukan?"
"Pergilah bersama orang-orang dan lakukanlah sebagaimana yang dilakukan ornag-orang. Jika engkau dapat melakukannya, hajimu diterima."
Kemudian berhajilah ia dan kembali menemui Abdullah bin 'Amr t untuk memberitahukan apa yang ia lakukan. Abdullah bin 'Amr t memerintahkannya untuk menemui Ibnu 'Abbas t demi menanyakan hal ini. Berangkatlah ia menemui Ibnu 'Abbas t untuk bertanya. Ternyata jawaban Ibnu 'Abbas t serupa dengan jawaban Ibnu 'Umar t. Setelah mendapatkan jawabannya, laki-laki tadi kembali kepada Abdullah bin 'Amr t untuk melapor dan ia berkata pada beliau t, "Bagaimana dengan pendapatmu?"
"Pendapatku sama dengan pendapat mereka berdua."
Ada juga beberapa riwayat dari Ibnu 'Abbas t yang menyatakan bahwa masing-masing dari keduanya (suami istri yang jimak ketika ihram) harus menyembelih satu unta. Tetapi ada sebagian riwayat lain yang mencukupkan hanya dengan satu unta.
Tidak diketahui ada perselisihan di antara para sahabat y. Jadi kita diwajibkan untuk merujuk pada fatwa-fatwa mereka. Jika perkara ini termasuk perkara yang tidak ada ijtihad di dalamnya, maka dihukumi marfu' pada Rasulullah r walaupun ini berasal dari ijtihad para sahabat. Mengikuti ijtihad para sahabat tentu lebih utama daripada mengikuti ijtihad dari selain mereka. Inilah yang dirajihkan oleh Imam yang empat. Wallahu A'lam.
Sedangkan dalil yang menunjukkan bahwa hajinya sah jika jimak setelah tahllul pertama dan sebelum tahallul kedua sebelum thawaf ifadhah adalah apa yang ditetapkan dari Ibnu 'Abbas t mengenai seorang laki-laki yang berjimak dengan istrinya pada hari nahr sebelum thawaf ifadhah dengan perkataan beliau t, "Keduanya menyembelih unta dan hajinya sah."
PERHATIAN:
*      Jika satu pelanggaran dilakukan berulang-ulang, maka fidyahnya cukup satu (kecuali fidyah berburu). Jadi tidak perlu fidyah dari awal. Tetapi jika ia telah membayar fidyah untuk yang pertama, yang kedua juga harus dibayar fidyahnya.
*      Jika ia melakukan pelanggaran yang berbeda, maka tiap pelanggaran memiliki fidyah tersendiri.
*      Jika ia melanggar kemudian membatalkan ihramnya, ia harus tetap membayar fidyah. Walaupun pada dasarnya membatalkan ihram itu dilarang.
*      Jika melanggar karena lupa, dipaksa, maupun karena tidak tahu, maka tidak apa-apa. Kecuali jimak, para Ulama' berkata, "Fidyah jimak tidak gugur karena lupa."
Ibnu 'Utsaimin berkata, "Yang benar, udzur karena tidak tahu, lupa, atau dipaksa, tidak menjadikan seseorang terkena fidyah. Tidak pada jimak, berburu, memotong kuku, memakai pakaian berjahit, dan yang lainnya."
3)      Berburu
Allah U berfirman,

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai sembelihan yang dibawa sampai ke Ka'bah atau (dendanya) membayar kafarat dengan memberi makan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya." (Q.S. Al-Maidah: 95)
Ada beberapa permasalahan mengenai hal ini:
*         Ulama' bersepakat bahwa orang yang berihram jika berburu dengan sengaja dan ia ingat jika sedang berihram, maka dendanya sesuai dengan yang tertera dalam ayat.
*         Menurut pendapat yang rajih, bagi orang yang berburu dan lupa jika sedang berihram serta bagi orang yang tidak sengaja, maka keduanya tidak dikenai sanksi apapun. Karena maksud firman Allah U,
4"Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja," (Q.S. Al-Maidah: 95)
Adalah orang yang sengaja berburu dan ia ingat jika ketika itu ia sedang berihram.
*         Jika buruannya lebih dari satu, setiap buruan ada dendanya. Sampai jika anak panahnya mengenai lebih banyak dari pada yang ia buru, maka ia harus membayar denda bagi tiap hewannya.
*         Jika ada lebih dari satu orang dalam perburuan, apakah masing-masing harus membayar denda? Atau mereka bersama cukup membayar satu denda? Ulama' berselisih pendapat mengenai hal ini. Dan yang difatwakan Ibnu 'Umar t dan Ibnu 'Abbas t adalah mereka bersama cukup membayar satu fidyah.
*         Menurut pendapat yang rajih, hewan buruan orang yang berihram tidak boleh dimakan. Baik oleh pemburu maupun oleh orang lain. Karena hewan itu termasuk bangkai. Baik hewan itu diburu secara sengaja, salah, maupun karena lupa.
*         Makna firman Allah U,

"Maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya." (Q.S. Al-Maidah: 95)
Adalah dendanya dia harus menyembelih binatang ternak, yaitu unta, sapi, dan kambing, yang setara dengan hewan buruan dengan hukum dua orang yang adil yang menghukumi perkara ini.
*         Pendapat sahabat dan tabi'in mengenai hal ini wajib diikuti. Karena mereka itu adil. Jadi, hukum mereka wajib diikuti.
*         Pemburu memiliki tiga pilihan: berkurban, memberi makan orang miskin, atau berpuasa. Ini jika hewan buruannya serupa dengan hewan ternak. Jika hewan buruannya tidak serupa dengan binatang ternak maka pilihannya hanya dua, memberi makan orang miskin atau berpuasa.
*        Maksud dari al-mitsl adalah serupa bentuk dan rupanya.
*         Jika pemburu hewan buruan yang serupa dengan binatang ternak memilih kurban, maka ia harus menyembelihnya di Al-Haram kemudian membaginya kepada fuqara' yang ada di sana. Allah U berfirman,

"Sebagai sembelihan yang dibawa sampai ke Ka'bah." (Q.S. Al-Maidah: 95)
Tetapi jika ia memilih member makan orang miskin atau berpuasa, maka ia tidak harus melakukannya di Al-Haram. Karena dalam ayat tidak ada penyebutannya.
*         Jika ia ingin memberi makan maka ia harus member makan orang miskin sampai mereka kenyang. Ulama' berbeda pendapat mengenai berapa orang miskin yang harus ia beri makan. Yang rajih adalah pendapat Ibnu Hazm, paling sedikit tiga karena Allah U berfirman,
   
"Atau (dendanya) membayar kafarat dengan memberi makan orang-orang miskin." (Q.S. Al-Maidah: 95)
Dalam ayat di atas tidak ada batasan jumlah. Hanyasaja lafadz masakin menunjukkan jamak, dan jamak yang paling sedikit adalah tiga.
Sebagian ahlu ilmi berpendapat pemburu harus menghargai binatang buruannya kemudian membeli bahan makanan pokok sesuai harga hewan buruan tersebut. Setelah itu ia member makan setiap orang miskin satu sha'. Barangsiapa yang mengambil pendapat ini, ia lebih berhati-hati. Jika tidak, maka pendapat pertama sudah kuat dan dapat dipertimbangkan.
*         Jika ia memilih berpuasa, ia harus menimbang berapa orang yang dapat dikenyangkan oleh hewan buruan tersebut. Kemudian ia berpuasa setiap satu orang diganti dengan satu hari. Karena Allah U berfirman,

"Atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu." (Q.S. Al-Maidah: 95)
*        Menurut keterangan dari para sahabat dan tabi'in:
Burung unta dendanya unta.
Keledai, banteng, dan kambing liar dendanya sapi.
Kijang, kambing hutan, dan menjangan dendanya kambing betina.
Merpati dan setiap burung yang mendekur dendanya kambing.
Cumi-cumi, angsa, ikan laut, ayam hitam, dan burung dendanya kambing.[1]
Fidyah Puasa
1.       Fidyah Pengganti Puasa Bagi Perempuan yang Tidak Mampu Berpuasa dan Kesulitan untuk Mengqadha'nya
Dibolehkan bagi perempuan untuk mengakhirkan qadha' puasa Ramadhannya sampai bulan Sya'ban walau tanpa ada udzur. Tetapi yang lebih afdhal adalah mengawalkan qadha'. Dibolehkan bagi perempuan yang berbuka pada bulan Ramadhan karena udzur seperti haidh atau nifas misalnya, untuk mengakhirkan qadha' karena ada udzur yaitu sakit atau lemah, sampai tahun depannya. Jika ia sudah sembuh dan kuat untuk berpuasa, ia wajib segera mengqadha' puasa yang telah ditinggalkannya. Jika ia tidak mampu juga untuk mengqadha', ia harus memberi makan setiap satu hari yang ditinggalkannya, satu orang miskin. Tiap hari ia harus memberi setengah sha' makanan pokok yang biasa ia makan. Ia boleh membayarkannya hanya pada satu orang miskin dan boleh pula memberikan pada orang yang berbeda-beda.[2]
2.      Qadha' Bagi Orang yang Sudah Meninggal
Rasulullah r bersabda,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامُ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ. رواه البخاري و مسلم
"Barangsiapa meninggal dan meninggalkan hutang puasa, walinya berpuasa atas namanya." (H.R. Bukhary dan Muslim)
Dalam riwayat Bukhary dan Muslim yang lain disebutkan bahwa seorang perempuan berkata, "Wahai Rasulullah, Sesungguhnya ibuku meninggal dan ia memiliki hutang puasa nadzar. Apakah aku harus berpuasa atas namanya?"
"Bagaimana menurutmu jika ibumu memiliki hutang, apakah kamu akan membayarkan hutangnya?"
"Ya."
"Kalau begitu berpuasalah atas nama ibumu."
Kedua hadits ini menjadi hujjah yang kuat pendapat para Fuqaha' bahwa orang yang meninggal dan memiliki hutang puasa, baik puasa Ramadhan atau puasa nadzar, walinya harus berpuasa atas namanya.
Wali adalah setiap kerabat. Baik ahli waris maupun bukan. Boleh juga yang menqadha' puasanya orang lain selain walinya seperti misalnya temannya. Jadi puasa si mayyit harus diganti dengan puasa juga. tidak bisa dengan fidyah.[3]





[1] . Tamam Al-Minnah, Abu Abdur Rahman 'Adil bin Yusuf Al-'Azzazy, Juz: 2, Hal: 401-407.
[2]. Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah Al-Majmu'ah Al-Ula, Al-Lajnah Ad-Daimah Li Al-Buhuts Al-'Ilmiyah Wa Al-Ifta', Hal: 338.
[3] . Fatawa Al-Azhar, Juz: 8, Hal: 375.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © Najma Mujaddid
Blogger Theme by BloggerThemes | Theme designed by Jakothan Sponsored by Internet Entrepreneur