Makna Fidyah
Sesuatu
yang diberikan untuk menebus sesuatu. Di antaranya adalah tebusan tawanan.
Fidyah
Haji
Ada
beberapa hal yang tidak boleh dikerjakan semasa ihram. Jika seorang yang
berihram melakukan salah satu dari perbuatan tersebut, ia wajib membayar
fidyah. Fidyah antara satu kesalahan dengan kesalahan yang lain berbeda-beda.
Berikut pembagiannya menurut fidyah yang harus ditebusnya.
·
Kesalahan
yang tidak ada fidyahnya, yaitu akad nikah.
·
Kesalahan
yang fidyahnya besar, yaitu jimak.
·
Kesalahan
yang fidyahnya dengan mengganti, yaitu berburu.
·
Kesalahan
yang mengharuskan adanya fidyah adza, yaitu kesalahan-kesalahan lain
selain yang tersebut di atas.
1)
Fidyah
Adza
Yaitu puasa tiga hari atau memberi
makan enam orang miskin. Tiap orang miskin setengah sha'. Bisa juga dengan
menyembelih kambing. Dasarnya adalah firman Allah Ta'ala,
"Jika ada di antaramu yang sakit atau ada
gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), Maka wajiblah atasnya berfidyah.
Yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban." (Q.S. Al-Baqarah: 196)
Jadi
fidyah adza boleh memilih. Sedangkan kesalahan-kesalahan yang
mengharuskan fidyah adza adalah:
*
Mencukur
Rambut
Dalilnya adalah hadits Ka'ab bin
'Ujrah t yang menyatakan bahwa ia memiliki gangguan di kepalanya. Kemudian
ia menghadap Rasulullah r, sedang kutu bertebaran di wajahnya. Rasulullah r pun bersabda,
مَا
كُنْتُ أَرَى أَنَّ الجُهْدَ قَدْ بَلَغَ مِنْكَ مَا أَرَى، أَتَجِدُ شَاةً؟
"Aku tidak melihat engkau telah bersungguh-sungguh, sungguh
aku tidak melihat. Apakah kamu mendapati seekor kambing?"
"Tidak."
Kemudian turunlah ayat,
"Maka wajiblah atasnya berfidyah. Yaitu:
berpuasa atau bersedekah atau berkorban." (Q.S. Al-Baqarah: 196)
هُوَ صَوْمُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ أَوْ إِطْعَامِ
سِتَّةِ مَسَاكِيْنَ نِصْفُ صَاعٍ لِكُلِّ مِسْكِيْنٍ.
"Yaitu puasa tiga hari atau member makan
enam orang miskin. Tiap orangnya setengah sha'."
Atau
dalam riwayat lain Rasulullah r bersabda kepada Ka'ab t,
كَأَنَّ هَوَامُكَ تُؤْذِيْكَ؟
"Sepertinya kebingunganmu
mengganggumu."
"Tentu."
فَاحْلَقْهُ، وَ اذْبَحْ شَاةً، أَوْ صَامَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ، أَوْ تَصَدَّقْ
بِثَلَاثَةِ آصَعٍ مِنْ تَمْرٍ بَيْنَ سِتَّةِ مَسَاكِيْنَ.
"Cukurlah
rambutmu, dan sembelihlah kambing, atau puasa tiga hari, atau bersedekah dengan
tiga sha' kurma kepada enam orang miskin." (H.R. Bukhari dan Muslim)
*
Memotong Kuku dan Memakai Minyak Wangi
Ulama'
mewajibkan fidyah atas kedua pelanggaran di atas dengan mengqiyaskan keduanya
dengan mencukur rambut.
Asy-Syinqithy
berkata, "Tidak ada dalil untuk pembayaran fidyah atas dua perkara di
atas, kecuali pengqiyasan kepada mencukur rambut yang tertera dalam ayat
fidyah."
Beliau
juga berkata, "Ketahuilah bahwa mereka bersepakat atas wajibnya fidyah
atas pemakaian parfum. Dan dalilnya tidak ada dalam Al-Kitab maupun As-Sunnah.
Tetapi pemakaian parfum diqiyaskan pada mencukur rambut yang tertera dalam ayat
fidyah."
Menurut
penulis "Tamam Al-Minnah", yang rajih adalah orang yang melanggar
ketentuan di atas tidak wajib fidyah. Ia hanya harus mengghilangkan jika
memungkinkan kemudian bertaubat kepada Allah U jika ia melakukannya dengan
sengaja. Tetapi sebagian yang bersepakat atas wajibnya fidyah atas pelaku
pelanggaran ini menjadikan fidyah sebagai suatu kehati-hatian. Wallahu
A'lam.
PERHATIAN:
Puasa tidak harus berturut-turut.
Kambing harus jenis kambing kacang atau domba, jantan atau betina.
Puasanya boleh kapan saja. Tidak harus pada hari-hari haji.
Menyembelih kambing atau member makan orang miskin tidak harus pada
saat ihram.
Ia tidak boleh memakan fidyahnya. Wallahu A'lam.
Fidyah hanya berlaku bagi yang mencukur rambut secara keseluruhan
karena adanya gangguan. Tidak berlaku bagi yang hanya mencukur sebagian rambut
saja. Begitu juga tidak berlaku bagi yang mencukur rambut lain selain rambut
kepala.
Setelah
para Ulama' menyebutkan pendapat-pendapat mereka tentang mencukur sebagian
rambut kepala atau mencukur rambut bagian tubuh yang lain, Asy-Syinqithy
berkata, "Setelah aku mengetahui perkataan para A'imah mengenai mencukur
rambut, sesungguhnya aku tidak mendapati satu pun nashnya dalam Al-Kitab maupun
As-Sunnah. Yang paling tampak, sesungguhnya mereka mengqiyaskan rambut tubuh
dengan rambut kepala dengan seluruh yang hal yang berhubungan dengan
pencukuran."
Jika ia mencukur rambutnya sebab lupa, maka tidak apa-apa.
2)
Fidyah
Berat
Tidak ada yang dikenai fidyah yang
berat kecuali jimak. Dan ada beberapa hal yang berhubungan dengan pelanggaran
berat ini.
*
Rusaknya
Haji
Ada perincian mengenai rusaknya haji. Kesimpulannya seperti
berikut:
Jika
ia jimak sebelum wuquf di Arafah, maka hajinya batal menurut Ulama' yang empat.
Jika
jimaknya setelah wuquf di Arafah dan sebelum tahallul yang pertama, haji batal
menurut tiga Imam. Tetapi tidak batal menurut Imam Abu Hanifah.
Jika
jimaknya setelah tahallul pertama sebelum tahallul kedua, hajinya tidak batal
menurut Ulama' yang empat.
*
Yang
Sudah Berlalu dari Rusaknya Haji
Rusaknya haji tidak menjadi
penghalang untuk memyempurnakan haji (melakukan manasik selanjutnya).
*
Ia
Wajib Membayar Fidyah
Menurut tiga Imam fidyahnya unta.
Tetapi menurut Hanafiyah fidyahnya kambing jika ia jimak tahallul pertama dan
unta jika jimak sebelum tahallul pertama.
Perempuan
hukumnya seperti laki-laki jika ia bersedia untuk melayani suaminya. Tetapi
jika ia dipaksa, maka ia tidak harus membayar fidyah.
Madzhab Dhahiriyah lewat pendapat
Ibnu Hazm menyatakan bahwa jika orang yang ihram jimak, maka hajinya batal.
Tetapi batalnya tidak berkelanjutan. Ia harus ihram lagi dari tempatnya. Jika
ia dapat menyempurnakan haji, maka ia harus melakukannya. Ini berlaku jika
jimaknya sebelum wuquf di Arafah. Setelah jimak ia harus berniat haji kembali
dan meneruskan manasik. Jika ia tidak menyempurnakan haji, mak ia telah
berma'shiat dan urusannya ada pada Allah U. Tidak ada petunjuk mengenai itu sama-sekali kecuali bahwasanya ia
belum berhaji atau berumrah sama sekali. Jadi ia harus mengulang haji dan
umrahnya.
Pendapat Ibnu Hazm kuat lagi dapat
dipertimbangkan. Seandainya ia menetapkan pendapatnya dengan riwayat dari Ibnu
Abbas t sebagaiman yang dilakukan para Imam tentu pendapat beliau akan
lebih kuat. Sayangnya tidak ada dalil dari Al-Kitab maupun As-Sunnah yang
disebutkan.
Asy-Syinqithy berkata,
"Ketahuilah bahwa puncak dari yang ditunjukkan oleh dalil adalah bahwa itu
–yaitu jimak- tidak diperbolehkan dalam ihram. Sebab Allah U telah menyebutkannya dalam firmanNya,
4
"Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan
mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan
di dalam masa mengerjakan haji."
(Q.S. Al-Baqarah: 197)
Sedangkan
pendapat Ulama' mengenai rusak atau tidaknya haji tidak berdasar pada Al-Qur'an
maupun As-Sunnah, tetapi berhujjah pada atsar yang diriwayatkan dari para
sahabat."
Pengarang
"Tamam Al-Minnah" mengatakan ada atsar yang diriwayatkan oleh
Al-Baihaqy beserta sanadnya pula. Ketika itu ada seorang laki-laki yang
mendatangi Abdullah bin 'Amr t dan bertanya bagaiman jika
bersetubuh dengan istrinya ketika sedang ihram? Abdullah bin 'Amr t memerintahkannya untuk mendatangi
Abdullah bin 'Umar dan menanyakan hal ini kepada beliau. Ibnu Umar berkata,
"Hajinya batal."
"Lalu
apa yang harus aku lakukan?"
"Pergilah
bersama orang-orang dan lakukanlah sebagaimana yang dilakukan ornag-orang. Jika
engkau dapat melakukannya, hajimu diterima."
Kemudian
berhajilah ia dan kembali menemui Abdullah bin 'Amr t untuk memberitahukan apa yang ia
lakukan. Abdullah bin 'Amr t memerintahkannya untuk menemui Ibnu
'Abbas t demi menanyakan hal ini.
Berangkatlah ia menemui Ibnu 'Abbas t untuk bertanya. Ternyata jawaban
Ibnu 'Abbas t serupa dengan jawaban Ibnu 'Umar t. Setelah mendapatkan jawabannya,
laki-laki tadi kembali kepada Abdullah bin 'Amr t untuk melapor dan ia berkata pada
beliau t, "Bagaimana dengan
pendapatmu?"
"Pendapatku
sama dengan pendapat mereka berdua."
Ada
juga beberapa riwayat dari Ibnu 'Abbas t yang menyatakan bahwa masing-masing
dari keduanya (suami istri yang jimak ketika ihram) harus menyembelih satu
unta. Tetapi ada sebagian riwayat lain yang mencukupkan hanya dengan satu unta.
Tidak
diketahui ada perselisihan di antara para sahabat y. Jadi kita diwajibkan untuk merujuk
pada fatwa-fatwa mereka. Jika perkara ini termasuk perkara yang tidak ada
ijtihad di dalamnya, maka dihukumi marfu' pada Rasulullah r walaupun ini berasal dari ijtihad
para sahabat. Mengikuti ijtihad para sahabat tentu lebih utama daripada
mengikuti ijtihad dari selain mereka. Inilah yang dirajihkan oleh Imam yang
empat. Wallahu A'lam.
Sedangkan
dalil yang menunjukkan bahwa hajinya sah jika jimak setelah tahllul pertama dan
sebelum tahallul kedua sebelum thawaf ifadhah adalah apa yang ditetapkan dari
Ibnu 'Abbas t mengenai seorang laki-laki yang
berjimak dengan istrinya pada hari nahr sebelum thawaf ifadhah dengan
perkataan beliau t, "Keduanya menyembelih unta
dan hajinya sah."
PERHATIAN:
Jika satu pelanggaran dilakukan berulang-ulang, maka fidyahnya
cukup satu (kecuali fidyah berburu). Jadi tidak perlu fidyah dari awal. Tetapi
jika ia telah membayar fidyah untuk yang pertama, yang kedua juga harus dibayar
fidyahnya.
Jika ia melakukan pelanggaran yang berbeda, maka tiap pelanggaran
memiliki fidyah tersendiri.
Jika ia melanggar kemudian membatalkan ihramnya, ia harus tetap
membayar fidyah. Walaupun pada dasarnya membatalkan ihram itu dilarang.
Jika melanggar karena lupa, dipaksa, maupun karena tidak tahu, maka
tidak apa-apa. Kecuali jimak, para Ulama' berkata, "Fidyah jimak tidak
gugur karena lupa."
Ibnu
'Utsaimin berkata, "Yang benar, udzur karena tidak tahu, lupa, atau
dipaksa, tidak menjadikan seseorang terkena fidyah. Tidak pada jimak, berburu,
memotong kuku, memakai pakaian berjahit, dan yang lainnya."
3)
Berburu
Allah U berfirman,
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara
kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang
ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang
adil di antara kamu sebagai sembelihan yang dibawa sampai ke Ka'bah atau
(dendanya) membayar kafarat dengan memberi makan orang-orang miskin atau
berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan
akibat buruk dari perbuatannya." (Q.S. Al-Maidah: 95)
Ada beberapa permasalahan mengenai
hal ini:
*
Ulama' bersepakat bahwa orang yang berihram jika berburu dengan
sengaja dan ia ingat jika sedang berihram, maka dendanya sesuai dengan yang
tertera dalam ayat.
*
Menurut pendapat yang rajih, bagi orang yang berburu dan lupa jika
sedang berihram serta bagi orang yang tidak sengaja, maka keduanya tidak
dikenai sanksi apapun. Karena maksud firman Allah U,
4"Barangsiapa di antara kamu
membunuhnya dengan sengaja,"
(Q.S. Al-Maidah: 95)
Adalah orang yang sengaja berburu dan ia ingat jika ketika itu ia
sedang berihram.
*
Jika buruannya lebih dari satu, setiap buruan ada dendanya. Sampai
jika anak panahnya mengenai lebih banyak dari pada yang ia buru, maka ia harus
membayar denda bagi tiap hewannya.
*
Jika ada lebih dari satu orang dalam perburuan, apakah
masing-masing harus membayar denda? Atau mereka bersama cukup membayar satu
denda? Ulama' berselisih pendapat mengenai hal ini. Dan yang difatwakan Ibnu
'Umar t dan Ibnu 'Abbas t adalah mereka bersama cukup
membayar satu fidyah.
*
Menurut pendapat yang rajih, hewan buruan orang yang berihram tidak
boleh dimakan. Baik oleh pemburu maupun oleh orang lain. Karena hewan itu
termasuk bangkai. Baik hewan itu diburu secara sengaja, salah, maupun karena
lupa.
*
Makna firman Allah U,
"Maka dendanya ialah
mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya." (Q.S. Al-Maidah:
95)
Adalah dendanya
dia harus menyembelih binatang ternak, yaitu unta, sapi, dan kambing, yang
setara dengan hewan buruan dengan hukum dua orang yang adil yang menghukumi
perkara ini.
*
Pendapat
sahabat dan tabi'in mengenai hal ini wajib diikuti. Karena mereka itu adil.
Jadi, hukum mereka wajib diikuti.
*
Pemburu
memiliki tiga pilihan: berkurban, memberi makan orang miskin, atau berpuasa.
Ini jika hewan buruannya serupa dengan hewan ternak. Jika hewan buruannya tidak
serupa dengan binatang ternak maka pilihannya hanya dua, memberi makan orang
miskin atau berpuasa.
*
Maksud
dari al-mitsl adalah serupa bentuk dan rupanya.
*
Jika
pemburu hewan buruan yang serupa dengan binatang ternak memilih kurban, maka ia
harus menyembelihnya di Al-Haram kemudian membaginya kepada fuqara' yang ada di
sana. Allah U berfirman,
"Sebagai sembelihan yang
dibawa sampai ke Ka'bah." (Q.S. Al-Maidah: 95)
Tetapi jika ia
memilih member makan orang miskin atau berpuasa, maka ia tidak harus
melakukannya di Al-Haram. Karena dalam ayat tidak ada penyebutannya.
*
Jika
ia ingin memberi makan maka ia harus member makan orang miskin sampai mereka
kenyang. Ulama' berbeda pendapat mengenai berapa orang miskin yang harus ia
beri makan. Yang rajih adalah pendapat Ibnu Hazm, paling sedikit tiga karena
Allah U berfirman,
"Atau (dendanya) membayar
kafarat dengan memberi makan orang-orang miskin." (Q.S. Al-Maidah: 95)
Dalam
ayat di atas tidak ada batasan jumlah. Hanyasaja lafadz masakin menunjukkan
jamak, dan jamak yang paling sedikit adalah tiga.
Sebagian
ahlu ilmi berpendapat pemburu harus menghargai binatang buruannya kemudian
membeli bahan makanan pokok sesuai harga hewan buruan tersebut. Setelah itu ia
member makan setiap orang miskin satu sha'. Barangsiapa yang mengambil pendapat
ini, ia lebih berhati-hati. Jika tidak, maka pendapat pertama sudah kuat dan
dapat dipertimbangkan.
*
Jika ia memilih berpuasa, ia harus menimbang berapa orang yang
dapat dikenyangkan oleh hewan buruan tersebut. Kemudian ia berpuasa setiap satu
orang diganti dengan satu hari. Karena Allah U berfirman,
"Atau berpuasa seimbang
dengan makanan yang dikeluarkan itu."
(Q.S. Al-Maidah: 95)
*
Menurut
keterangan dari para sahabat dan tabi'in:
Burung unta dendanya unta.
Keledai, banteng, dan kambing liar dendanya sapi.
Kijang, kambing hutan, dan menjangan dendanya kambing
betina.
Merpati dan setiap burung yang mendekur dendanya
kambing.
Fidyah
Puasa
1. Fidyah
Pengganti Puasa Bagi Perempuan yang Tidak Mampu Berpuasa dan Kesulitan untuk
Mengqadha'nya
Dibolehkan
bagi perempuan untuk mengakhirkan qadha' puasa Ramadhannya sampai bulan Sya'ban
walau tanpa ada udzur. Tetapi yang lebih afdhal adalah mengawalkan qadha'.
Dibolehkan bagi perempuan yang berbuka pada bulan Ramadhan karena udzur seperti
haidh atau nifas misalnya, untuk mengakhirkan qadha' karena ada udzur yaitu
sakit atau lemah, sampai tahun depannya. Jika ia sudah sembuh dan kuat untuk
berpuasa, ia wajib segera mengqadha' puasa yang telah ditinggalkannya. Jika ia
tidak mampu juga untuk mengqadha', ia harus memberi makan setiap satu hari yang
ditinggalkannya, satu orang miskin. Tiap hari ia harus memberi setengah sha'
makanan pokok yang biasa ia makan. Ia boleh membayarkannya hanya pada satu
orang miskin dan boleh pula memberikan pada orang yang berbeda-beda.[2]
2. Qadha'
Bagi Orang yang Sudah Meninggal
Rasulullah r bersabda,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامُ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ. رواه البخاري
و مسلم
"Barangsiapa meninggal dan
meninggalkan hutang puasa, walinya berpuasa atas namanya." (H.R. Bukhary dan Muslim)
Dalam
riwayat Bukhary dan Muslim yang lain disebutkan bahwa seorang perempuan
berkata, "Wahai Rasulullah, Sesungguhnya ibuku meninggal dan ia memiliki
hutang puasa nadzar. Apakah aku harus berpuasa atas namanya?"
"Bagaimana
menurutmu jika ibumu memiliki hutang, apakah kamu akan membayarkan
hutangnya?"
"Ya."
"Kalau
begitu berpuasalah atas nama ibumu."
Kedua
hadits ini menjadi hujjah yang kuat pendapat para Fuqaha' bahwa orang yang
meninggal dan memiliki hutang puasa, baik puasa Ramadhan atau puasa nadzar, walinya
harus berpuasa atas namanya.
Wali
adalah setiap kerabat. Baik ahli waris maupun bukan. Boleh juga yang menqadha'
puasanya orang lain selain walinya seperti misalnya temannya. Jadi puasa si
mayyit harus diganti dengan puasa juga. tidak bisa dengan fidyah.[3]
0 komentar:
Posting Komentar